"Senpai, tolong terima bunga ini."
Sasuke menerima karangan bunga itu, menatap tajam mata hitam gadis kelas satu yang barusan memberinya. Wajah si gadis tersipu, ekspresi bahagia membuatnya semakin terlihat manis.
"Untuk apa ini? Kau memetik bunga dan merusak. Aku tidak butuh." Sambil berjalan, Sasuke membuang bunga di tempat sampah.
Aku hanya bisa melihat dari jauh sikapnya yang tak pernah mau memikirkan perasaan orang lain.
-:-
"Sekali-kali bersikaplah manis."
Sasuke mengabaikanku, jarinya masih sibuk mencatat di buku tulisnya. Perhatiannya tak sedikit pun dia curahkan pada orang-orang di sekitarnya.
Aku duduk di kursiku, memasukkan buku-buku ke dalam tas.
"Hinata, kita makan bento di taman dekat lapangan, yuk." Belakangan ini Ino suka ke taman. Dia sering menghabiskan waktunya di sana. Alasan yang paling utama, gampang: dia tertarik pada pelatih tenis.
Hampir setiap hari kami ada di tempat ini. "Menurutmu bagaimana? Dia keren, kan?" Bagi Ino, Tobirama-sensei patut diperhitungkan.
Aku mengunyah tempura, memperhatikan Ino yang bahagia. Merasa iri karena aku tak bisa memiliki perasaan semacam itu.
Setelah istirahat selesai, Ino memberanikan diri menyapa sensei berwajah tampan yang juga ramah. Saat pelajaran kembali dimulai, dia terlihat lebih bersemangat dari biasanya.
Efek cinta pada manusia memang luar biasa. Karena hal ini aku bertanya-tanya, apa yang menyebabkan sikap Sasuke yang selalu saja mudah menyakiti perasaan orang lain?
Seingatku dulu dia lebih ramah. Apa dia punya trauma? Atau pernah ditolak perempuan yang dia suka? Atau... tidak tertarik pada perempuan?
Meski sudah mengenalnya sejak lama, aku tak bisa menerka kemungkinan yang paling masuk akal.
Kira-kira... kenapa, ya?
-:-
"Hinata, kau tidak dengar?"
Hujan di musim dingin benar-benar menyiksa. Aku jadi tak bisa bersepeda saat pulang sekolah karena hujan dan terpaksa naik kereta hari ini. Sepedaku jadi ditinggal di sekolah.
Jam empat lebih dua belas menit, kereta yang kami tunggu sejak tadi, akhirnya tiba. Di gerbong yang lega dan sepi penumpang, kami berdiri di dekat pintu. Naik kereta ternyata asyik juga.
"Hinata!"
"Hm?"
"Ngapain, sih? Melamun terus."
Kereta yang kami tumpangi tak terlalu padat. Hujan membuat kaca jendela dan pintu menjadi basah. Bulir-bulir air mengalir turun seperti sedang menangis. Setelah melewati dua stasiun, aku duduk bersebelahan dengan Sasuke, kedinginan dan ingin cepat sampai di rumah.
Aku dan Sasuke bertetangga. Dia tinggal di rumah sebelah. Ungkapan rumput tetangga lebih hijau, benar-benar terjadi. Rumah Sasuke lebih besar dari rumah yang kutinggali bersama keluargaku. Kira-kira enam tahun yang lalu, ayahnya dipromosikan dan naik jabatan. Kabarnya mereka akan pindah rumah, tapi malah merenovasi rumah dengan memperbesarnya. Halaman samping rumahku jadi sempit. Semua itu karena pagar rumah Sasuke dibuat lebih tinggi dari sebelumnya. Lalu balkon kamarnya diperluas.
Dia sering mampir ke kamarku kalau cuaca di malam hari cerah. Seperti biasa, tanpa memikirkan perasaan orang lain, dia seenaknya masuk ke kamarku dan kadang-kadang juga tidur di tempat tidurku. Sasuke hanya perlu melompat untuk bisa mencapai balkon kamarku yang sempit dan rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Paradox
Fiksi PenggemarKumpulan one-shot SasuHina. Hinata's POV. REPUBLISH