Adikku Sayang Adikku Malang

815 48 2
                                    

Fiksi

***

"Sherin, coba tolong kamu pergi ke minimarket ujung jalan," kataku saat melihat adikku Sherin sedang asyik bermain ponselnya dari tadi.

Aku tahu, dia pasti sedang chat dengan pacarnya itu. Rasanya membuat panas hati saja. Mengapa dari dulu selalu saja dirinya yang menjadi pusat perhatian, di sekolah maupun di rumah. Padahal jelas aku yang lebih tua satu tahun dengannya. Memang banyak yang bilang kalau kami kembar.

Kami hanya tinggal berdua di sebuah apartemen, ini juga peninggalan orang tua kami. Mereka meninggal dunia saat perjalanan menggunakan pesawat beberapa waktu lalu, rumah kami di jual, dan kami pindah ke apartemen ini, niatnya agar kami tidak diganggu oleh omongan tetangga.

Mereka mengatakan kalau aku seperti wanita malam, selalu pulang pagi, pergi malam, padahal mereka tidak tahu, aku seperti itu untuk membiayai hidup.

Pekerjaan yang sedang kugeluti ini bukan seperti yang mereka bayangkan, melayani pria hidung belang, bukan. Aku hanya menjadi seorang DJ di sebuah club' malam. Bagaimana bisa bekerja di siang hari, kalau tempat kerjaku bukanya setiap pukul delapan malam.

"Nih, beli ini. Udah aku catet semua." Aku memberikan sebuah kertas catatan belanjaan pada Sherin.

"Okey," sahutnya.

Ia lalu beranjak ke luar.

Sementara aku melanjutkan memotong sayuran untuk makan siang kami. Hari ini hari liburku. Bukan hari Sabtu apalagi hari Minggu, justru di hari-hari tersebut club' tempat kerjaku dipadati pengunjung.

Sekarang hari Kamis, kebetulan aku dan Sherin dapat jatah off bersamaan. Sherin adikku bekerja di sebuah rumah sakit. Bukan sebagai perawat, tetapi bekerja di apotek.

Hari ini aku akan memasak sop ayam kesukaan kami, dulu sewaktu Ibu masih hidup, ia sering memasak untuk kami, dan aku mempelajarinya. Terkadang ayam kami ganti dengan daging, atau bakso. Bisa sampai dua mangkok kami makan tak henti menambah. Kuahnya yang segar ditambah dengan taburan bawang goreng membuat aromanya semakin menggugah selera.

***
.
.
"Kak, nanti Boy mau main ke sini, boleh nggak?"
tanya Sherin sambil menyeruput kuah sop kesukaannya. Aku senang melihatnya makan dengan lahap, berarti masakanku enak.

Boy adalah kekasih Sherin, pria berkulit putih, dengan wajah kebule-bulean itu juga membuat hatiku terasa berdesir setiap kali Sherin menyebut namanya. Matanya yang biru tak pernah bisa aku lupakan saat pertama kali kami bertemu.

"Boleh, kapan? Nanti malam?" tanyaku penasaran.

"Ehm, mungkin sore, aku punya film bagus, tadi baru download, dan kami akan menontonnya di sini, nanti Kakak ikut nonton juga ya!"

Deg.
Mereka akan menonton di sini? Dan aku kembali hanya akan menjadi obat nyamuk. Tidak, lebih baik aku pergi ke luar saja. Tapi, kalau membiarkan mereka berdua di sini, bagaimana kalau Boy berbuat macam-macam pada Sherin. Ah tapi tidak mungkin lah. Aku percaya pada adikku.

"Kakak ada janji tadi, maaf ya, nggak bisa nonton bareng kalian." Sebenarnya aku ingin.

"Owh, mau jalan sama Kak Riko ya?" tebaknya.

"Hahaha ... bukan, tapi dengan Vinda," kataku bohong.

"Owh, Kak Vinda."

"Iya. Ya sudah, Kakak mau siap-siap dulu ya!" Aku beringsut dari kursi makan, ke kamar mandi, mencuci wajahku dengan sabun pembersih, lalu sikat gigi.

Aku lanjut ke kamar, berganti pakaian. Sebenarnya hari ini aku ingin bermalas-malasan saja di rumah, karena besok harus kembali kerja, dan akupun tidak tahu harus pergi ke mana, demi menghindari mereka berdua.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang