Napasnya terburu tak beraturan. Keringat sebesar biji jagung memenuhi pelipisnya. Matanya nampak berair. Dari balik selimut, ia memeluk lututnya erat. Membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya. Menangis tanpa suara. Sedangkan adegan setelah mimpi, kembali terputar, memutar kembali kejadian demi kejadian layaknya sebuah kaset rusak yang tertanam dalam otaknya, tanpa ia mau.
Ia memegang kepalanya, lebih tepatnya mencengkeram, menampakan buku-buku jarinya yang kian memutih. Urat-urat tercetak dengan begitu jelas. Rasa sakit kian melandanya, namun masih kalah dengan hasrat ingin menyakiti dirinya sendiri.
Ia bangkit dari tempat tidurnya dengan tertatih-tatih. Beranjak ke satu tempat, yang dia sebut sebagai tempat penyiksaan. Sebuah tempat yang menjadikan halusinasi itu kian menjadi nyata. Membangunkan sisi tergelap dalam dirinya. Sisi yang siapapun tak ada yang mengetahuinya. Siapapun. Karena sebisa mungkin ia sembunyikan, ia bahaya untuk orang lain. Maka dari itu, ia buat dirinya bahaya hanya untuk ia sendiri, tanpa mempersulit dan melibatkan orang lain.
Kamar mandi.
Ia segera menenggelamkan kepalanya di bak yang terisi penuh oleh air, tak lupa sembari menyalakan keran. Hal itu memancing ingatan-ingatan lain muncul, menyeruak hingga ke permukaan. Memaksanya untuk menyelami setiap detail peristiwa kelam di masa lalu. Bagaimana sakitnya tak diaku, bagaimana perihnya cambukan, bagaimana sesaknya bernafas dalam air, bagaimana sulitnya untuk menjadi normal.
Matanya semakin merah, ditariknya kepalanya kemudian ia benturkan ke dinding kamar mandi kuat-kuat. Sakit namun tak sesakit beberapa tahun yang lalu.
Sebuah kalimat terngiang-ngiang di kepalanya.
Your nightmare has arrived
Your nightmare has arrived
Your nightmare has arrived
"ARGHH, THE MONSTER HAS ARRIVED."
Teriaknya sebagai penutup dari 'penyiksaan diri' malam ini.
***
Meja makan terlihat dipenuhi oleh para anggota keluarga. Tanpa absen seorangpun. Atmosfer kehangatan juga kebahagiaan nampak menyebar membuat siapapun yang melihat turut merasakan kebahagiaan juga.
"Kamu kapan ada libur sekolah, Fel?" Tanya sang Ayah pada putri kesayangannya yang tengah makan sereal kesukaannya.
"Setiap hari Fela libur, kenapa? Papi lupa? Sekolah itu hanya sebagai formalitas bagi Fela, ya kan, Fel?" Bukan Fela yang menjawab, melainkan Calvin. Kakak laki-laki yang menjelma menjadi musuh bagi Fela. Fela melebarkan matanya.
"Nggak, Pih. Mpin mah boong. Gosah dipercaya, dia halu. Orang tiap hari Fela sekolah kok. Kalo nggak percaya tanya Tam sama Mik aja." Tatapan tajam dilayangkan Fela pada Calvin. Sedangkan laki-laki itu justru tertawa dengan begitu renyah.
"Yaudah pendidikan itu terserah Fela, mau Fela nggak usah sekolah pun, Papi mah nyantai." Seketika semua menatap ke sumber suara. Tawa Calvin berhenti juga tatapan tajam yang ditujukan Fela terhadap Calvinpun telah usai.
"Kok?" Tanya Fela.
"Gampang, tinggal di jodohin aja sama klien-klien Papi yang udah 'mapan'." Fela meneguk salivanya dengan susah. Fela paham betul mapan yang dimaksud Papinya adalah yang sudah berumur. Seumuran Papinya rata-rata. Bisa dibayangkan jika ia menikahi pria yang seumuran Papinya. Hih, amit-amit membayangkannya saja sudah membuat Fela gumoh sendiri.
"Aduduh, Calvin bayangin Fela nikah sama om-om dong. Aduh hahaha." Tatapan tajam kembali Fela arahkan ke arah musuh yang menyaruh sebagai kakak disampingnya.
"Mommmm, Mpin sama Papi mojokin Fela aaaa." Teriak Fela.
"Aduh sayang, suara kamu tuh ih. Kamu kan perempuan, jaga dong suaranya. Perempuan itu harus lembut, kamumah nggak ada lembut-lembutnya sama sekali, pantes aja belum laku-laku." Ucap sang Ibu. Tatapan kasihan ditujukan Calvin pada Fela.
"Mom ih, udah ah Fela ngambek mau ke sekolah aja."
"Eits, hukumannya berlaku ya. Karena waktu itu kamu toxic, jadi kamu naik angkot selama satu minggu ke depan." Jleb. Dengan gaya pengucapan yang santai, namun terasa mengena di lubuk hati terdalam Fela. Kesialan apalagi yang akan mendatanginya.
"Pi? Serius?"
"Ya, Papi pernah main-main masalah hukuman?" Tubuh Fela terasa lemas seketika.
Barulah ia bangkit dari duduknya.
"Fel? Kaki kamu kenapa? Kok lebam?" Fela menggigit bibir bawahnya. Astaga ia lupa menutupi lukanya.
"Ah, itu kemarin Fela keserempet mobil. Nggak parah sih cuma jatuh doang." Alibi Fela.
"Siapa yang udah nyerempet kamu?"
"Orangnya udah tanggung jawab kok, Pi. Kemarin dia obatin Fela terus antar Fela ke sekolah juga dengan selamat hehe. Udah ah Fela berangkat dulu, ntar nggak kebagian angkot." Sebenarnya Papinya tidak tega membiarkan Fela ke sekolah dengan menaiki angkot jika keadaannya seperti ini. Tapi ya sudahlah, tujuannya hanya untuk mendewasakan Fela.
Setelah menyalimi seluruh anghota keluarganya, Fela mencoba berjalan dengan biasa. Menghalau segala rasa sakit yang terasa di sekujur kakinya.
***
"Eh, Fel. Tadi Kak Rose nyariin lo." Fela mengernyit.
"Kak Rose? Ketua cheers?" Tamara mengangguk.
"Iya, katanya kalo lo udah di kelas suruh ke kelasnya dia, 12 IPA 6."
"Lah? Ada urusan apa sama gue?"
"Nggak tau, kayanya cheers lagi kekurangan anggota deh. Terus mau ngerekrut anggota baru lagi. Nah lo dulu pernah ikut kan tuh, terus disuruh ikut lagi kayanya." Fela mengangguk paham.
"Yaudah gue kesana dulu deh ya."
Fela segera melangkahkan kakinya. Beberapa orang menyapanya, membuat kedua sudut bibirnya terangkat naik. Tersenyum dengan manisnya. Sesekali membalas sapaan-sapaan itu. Gadis itu memang seperti itu, dikenal ramah oleh siapapun. Walaupun tak jarang ia bersikap egois.
"Kak Rose!" Panggilnya pada seorang gadis bertubuh tinggi. Sama sepertinya.
"Eh, Fel. Gue kira lo nggak bakal nemuin gue." Fela menggeleng kemudian tersenyum.
"Nggaklah, lo kira gue sesombong itu sampe nolak buat nemuin kakak senior."
Rose tertawa kemudian wajahnya berubah serius. "Bentar lagi ada turnamen basket antar sekolah se-Jabodetabek. Otomatis cheers harus ikut juga. Gue sekaligus kelas dua belas lainnya udah nggak dibolehin ikut partisipasi, jadi harus kelas sebelas dan kelas sepuluh. Nah lo tau kan kabarnya gimana, anggota cheers makin nipis sekarang-sekarang. Ditambah kemampuan mereka pun berkurang. Gue inget lo, salah satu mantan anggota cheers yang cukup menarik banyak perhatian dan lo berbakat. Makanya gue samgat berharap lo mau gabung lagi di ekskul ini, Fel." Fela terlihat sedang menimang jawabannya. Sebenarnya ia juga ada niatan untuk kembali bergabung di ekskul ini. Dam ia rasa ini adalah jalannya.
Gadis itupun mengangguk, "Oke, Kak. Gue mau gabung lagi di cheers." Senyum lega terpancar di wajah Rose. Gadis itupun memeluk tubuh Fela. Menyalurkan kebahagiaan yang ia miliki saat ini, setelah mendengar keputusan adik kelasnya itu.
"Ah demi apa gue akhirnya bisa selega dan sesenang ini. Sumpah, gue lega banget. Dengan lo masuk di cheers pasti banyak siswi lain yang mau ikut menjadi bagian di cheers sumpah gue seneng, akhirnya ekskul yang gue banggain terbebas dari ancaman pembubaran karena minimnya anggota." Fela turut senang mendengarnya. Jangan lupakan satu hal bahwa seorang Fela Nakeisha sangat terbuai oleh kalimat pujian.
***
Partnya sengaja w buat pendek pendek aja hehe. Ga lebih dari sekitar 1000an lah. Biar mata kalian ga capek juga bacanya hehe. Part selanjutnya tunggu yaaa. Kalian akan dikejutkan oleh fakta-fakta lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanafe [BOOK 3]
Teen FictionBook 3 of GHS series Bermula dari keinginan Fela untuk mendapatkan Gara kembali, Fela melakukan berbagai cara agar hubungan Gara dengan Athena kandas. Gara yang dingin, Fela yang egois, dan Athena yang penuh kelembutan. Entah siapa yang akan mendapa...