Kanafe🔪14

13 2 1
                                    

Langit mendung juga sahutan petir dan rerintikan air hujan menyambut pagi hari Fela. Cuaca seperti ini yang membuatnya malas untuk pergi ke sekolah. Selain karena jalanan yang semakin macet saat hujan turun, juga karena bau tanah basah yang membuat gadis itu enggan beranjak dari ranjangnya. Hal itu tentu membuat seseorang semakin kesal saat membangunkannya.

Awalnya ia membangunkannya dengan usapan lembut di pipi gadis itu seraya berucap, "Dek, bangun." Tidak ada tanda-tanda gadis itu bangun.

Ia lantas mencoba cara yang kedua, menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu dan berucap, "Fela bangun."

Dirasa tidak ada tanda-tanda adiknya bangun dari tidur lelapnya itu, ia mencoba cara ketiga. Mengguncang tubuh Fela, menyentil kening Fela sambil berujar, "WOI BANGUN, CAPEK GUE BANGUNIN LO!"

"Hmm, 5 menit lagi. Brisik lo." Kata Fela tanpa membuka matanya.

5 menit berlalu. Gadis itu justru mendengkur bukannya bergegas bangkit dari tidurnya. Telah habis kesabarannya, laki-laki itupun menggunakan cara terakhir. Mengangkat tubuh Fela dan membawanya ke kamar mandi, menaruhnya di atas bath up, kemudian menyalakan shower dengan air yang dingin. Fela yang semula menutup matanya, sontak membuka matanya lebar-lebar. Tangannya langsung mengusap wajahnya dan hendak mematikan keran, namun dengan cepat dicegah oleh Calvin bersamaan dengan tawa kemenangannya.

***

"Loh, ini princesnya Papi kenapa mukanya ditekuk kaya gini?" Tanya pria itu pada anak gadisnya. Ada dua wajah yang berbeda di hadapannya. Yang satu memancarkan sorot wajah asam, ditekuk, dan menahan emosi. Sedangkan yang satunya sangat jelas memancarkan sorot kemenangan yang penuh kebahagiaan.

"Masalah remaja, Pi. Kayak nggak pernah muda aja nih si Papi." Gantian, wanita itu membuka suaranya sambil mengoleskan selai di potongan-potongan roti. Pria itu mengkerutkan keningnya.

"Hah? Apa sih Mi? Kok Papi nggak paham?" Tanya pria itu. Wanita yang awalnya memancarkan senyum, perlahan meredup.

"Ck, Papi nih nggak paham apa kode Mami?"

"Apa sih, Mi? Ngomong tuh yang jelas, nggak usah kode-kode, Mami kira Papi barcodenya Indomaret?"

"Itu loh, permasalahan anak remaja apalagi sih kalo bukan cinta-cintaan? Bahasa kerennya mah cinta monyet." Pria itu membulatkan bibirnya.

"Apa sih, Mi? Nggak ada pacar-pacaran ya untuk Fela. Dia tuh masih kecil, tau apa tentang pacaran? Pokoknya Fela nggak boleh punya pacar dulu." Bukan, bukan si pria yang berucap. Melainkan seorang laki-laki muda yang membantah.

"Gak jelas lo, kak! Udah ah aku mau berangkat. Mika udah di depan." Gadis itu segera bangkit dari duduknya, menyalimi satu persatu anggota keluarganya barulah ia berucap, "Assalamu'allaikum." Kemudian melenggang pergi.

"Napa muka lo? Bete amat." Tanya Mikaila yang duduk di kursi pengemudi. Fela menggelengkan kepalanya.

"Abang gue kek setan emang. Hah, bisa nggak sih dia nggak usah jadi abang gue?" Mikaila tertawa mendengar nada frustrasi dari jawaban sahabatnya itu.

"Sini-sini sedekahin abang kayak gitu buat gue. Ikhlas gue, Fel, sumpah."

"Jomblo terus juga terima gue. Kalau punya abang secakep, sekeren, dan seterkenal itu. Aduh gila, komplit banget hidup gue." Fela meringis mendengarnya.

Di novel-novel yang sering ia baca, dan di film-film yang ia tonton tuh punya kakak laki-laki menyenangkan. Kata-kata mereka yang tidak punya kakak laki-laki itu enak, romantis, sayang banget sama adiknya, manis. Sedangkan yang ia rasa, sungguh berbanding terbalik.

Kanafe [BOOK 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang