Dia melihat tampilan dirinya dalam cermin. Wajah pucatnya kian menjadi hingga tak ada lagi rona merah yang biasa menghiasi wajahnya. Hari-harinya semakin terasa berat. Bahkan dia sendiri tak pernah membayangkan akan seperti ini.
Tatapannya berpindah pada sebuah pigura yang berada di atas nakas, sebuah potret ia dan seseorang itu. Ah bahkan ia merindukan sosok itu, sosok yang begitu hangat padanya. Ia rindu tatapan lembutnya.
Dibawanya pigura itu ke dalam dekapannya, erat. Membayangkan seolah sosok di dalamnya adalah wujud nyata seperti dulu, saat dia dapat memeluk sosok itu kapanpun.
Dengan mata yang terpejam, juga airmata yang hendak jatuh, ia berjanji di dalam hatinya, ia akan kembali padanya. Meski dengan keadaan yang mungkin akan jauh berbeda. Tapi itu tidak begitu penting. Walaupun sosok yang dulu telah berubah, tapi yang terpenting baginya adalah ia kembali. Tanpa atau dengan kabar yang buruk sekalipun.
***
Deru nafasnya kian memburu, keringat sebesar biji jagung turun begitu saja. Dadanya terasa sesak. Mimpi itu mendatanginya lagi. Mimpi buruk yang sudah menjadi temannya, tapi sayang, dia tidak membutuhkan teman seperti itu. Memang dia kesepian, tapi bukan berarti mimpi buruklah yang menemaninya.
Kalau memang itu adalah jawaban dari doanya, maka akan ia tarik permintaannya itu. Dia sanggup menghadapi sepi, tapi ia terlalu lemah untuk mendapati mimpi-mimpi itu. Tidak, ia tidak sanggup.
Bertahun-tahun, mengapa tak pernah ada satupun mimpi yang menyenangkan? Memangnya dia terkena kutukan? Atau takdir bahagia enggan untuk menyapanya, walau hanya dalam mimpi sekalipun?
Laki-laki itupun melirik jam, pukul 2 dini hari. Dapat ia pastikan, ia tak akan bisa memejamkan matanya lagi.
Ia meraih ponselnya. Sebuah pesan tertera disana.
Nightmare : Bagaimana tidurmu? Apakah mimpimu indah? Saya harap begitu.
Ia meremas ponselnya. Saking kerasnya, sampai buku-buku tangannya memutih. Seolah kebal, tak ada rasa sakit sedikitpun pada telapak tangannya. Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan hatinya saat ini. Seakan ingin meledak, wajahnya memerah. Tatapan kosongnya dihiasi oleh airmata yang mengalir.
Sesungguhnya hal yang menyedihkan itu saat kamu mengetahui orang yang dulu begitu menyayangimu kini telah berubah. Seratus persen berbeda. Membuatmu bertanya-tanya, entah pada dirimu sendiri, langsung pada orangnya, atau dititipkan pada embusan angin. Pertanyaan mudah, tapi enggan kamu tanyakan. "Apa aku penyebabnya?"
Selama puluhan tahun, ia bertanya pada dirinya sendiri. Selama puluhan tahun juga pertanyaan itu mengendap, tertahan dalam tenggorokannya.
Hingga ponselnya menyala, menampilkan sebuah nama yang menurutnya tidak penting. Dan entah kenapa, ia menggeser tombol hijau ketimbang tombol berwarna merah.
"Halo." Suara gadis di seberang sana memulai percakapannya.
"..."
"G-gue nggak bermaksud b-buat ganggu tidur nyenyak lo. Hhh gue kebangun dari tidur, gak tau kenapa tiba-tiba nama lo muncul di pikiran gue, makanya gue nelfon lo. G-gue kira lo nggak bakal angkat telfon gue. Tapi...ternyata lo angkat hehe."
"..."
"Kanigara."
"Maaf ganggu lo, makasih udah mau angkat telfon gue, dan--"
Laki-laki itu tidak merespon apapun, ia mengerutkan keningnya.
"Mimpi indah. Jangan takut, lo punya gue."
Tut. Sambungan terputus.
Tangannya lemas, ponselnya terlepas begitu saja. Nada bicara gadis itu tidak seperti biasanya. Tidak menyebalkan, tidak manja, tidak ada kalimat paksaan. Semuanya terdengar tulus dan sarat akan ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanafe [BOOK 3]
Teen FictionBook 3 of GHS series Bermula dari keinginan Fela untuk mendapatkan Gara kembali, Fela melakukan berbagai cara agar hubungan Gara dengan Athena kandas. Gara yang dingin, Fela yang egois, dan Athena yang penuh kelembutan. Entah siapa yang akan mendapa...