***
Gue berjalan di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Melangkah menuju warung mie ayam langganan di cuaca sepanas ini benar-benar merupakan pengorbanan. Setelah selesai mengurus beberapa dokumen untuk keperluan masa depan, gue, Cece, dan Dody membuat janji berketemu hari ini.
Satu bulan sudah terlewati semenjak acara kelulusan SMK. Dan hari ini kami memutuskan untuk bertemu dan menceritakan hal-hal nggak penting yang terlewati.
Berhubung gedung tempat gue mengurus dokumen hanya berjarak satu gedung dengan warung mie ayam tempat kami janji temu, gue memutuskan jalan kaki. Bukan tanpa alasan, di jam-jam makan siang seperti biasanya warung mie ayamnya itu sedang ramai-ramainya. Dan biasanya juga, tempat parkirnya terbatas. Bisa maju tetapi nggak bisa mundur.
"Caca, di sinii!" Saat baru saja sampai, Cece langsung meneriaki gue sembari melambaikan tangannya. Alhasil, seluruh pelanggan mengarahkan pandangannya ke Cece dan ke gue. Malu rasanya. Dody yang ada di sebelah Cece pun terlihat tertekan. Belum makan saja sudah dibuat semalu ini oleh sahabatnya sendiri. Sejak lahir pun, Cece sudah nggak bermoral apalagi beriman. Jadi biasakan lah dirimu.
Gue lalu berjalan pelan menyusuri deretan meja yang sesak akan manusia-manusia kelaparan. Warung makan dengan tema lesehan ini penuh sekali. Cita rasa memang nggak bisa bohong.
"Lo udah urus semua dokumennya?" tanya Cece ketika gue duduk di sampingnya.
"Udah."
"Mana?" Dody menatap dengan tatapan penuh menyelidik.
"Gue taruh di mobil lah. Emang kenapa?" Gue balik menatapnya aneh.
"Gue mau lihat foto ijazah lo aja. Pasti kayak tampang-tampang pengangguran yang tukang overthinking," cemoohnya dengan enteng.
"Kampret."
"Btw, udah pesen belum, nih?" Gue menggelung rambut yang terurai. Dody yang duduk di hadapan gue mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kenapa kah, seolah-olah muka gue senajis itu kali, ya.
"Belum. Pesen porsi yang biasa, kan? Porsi wedus gembel?" Cece menaik-turunkan alisnya.
Gue iya-in aja. Udah mumet. "Iya."
Bude Wiwik—pemilik warung menghampiri kami bertiga. "Mau pesen apa, Nduk?"
"Yang biasa, ya, Bude. Mie ayam tiga, cekernya 2 mangkuk. Minumnya es jeruk aja, Bude." Cece dengan lancarnya menyebutkan semua pesanan kami. Bagaimana nggak lancar, selama tiga tahun SMK, kami nggak pernah mengganti menu pesanan. Setia banget nggak tuh.
"Ditunggu, ya. Bude buatkan dulu." Bude Wiwik lalu berdiri menuju gerobak mie ayamnya. Seketika aroma-aroma sedap kuah mie menyelinap ke indra penciuman gue.
Beberapa saat kemudian, Pakde pemilik warung datang membawakan pesanan kami. "Ini pesanannya, guys," ucap Pakde dengan nada ala kekinian di akhir ucapannya.
Tanpa berbasa-basi, kami bertiga segera menikmati semangkuk mie ayam beserta ceker-cekernya itu. Nggak lupa diselingi dengan bahan gibahan berjudul 'Selingkuh itu tidak indah'. Kemudian, saat sedang asyik menyeruput kuah, tiba-tiba punggung gue disenggol dengan cukup kuat sehingga gue terkejut dan hampir tersedak.
Dengan emosi di ujung kepala, gue menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria muda dengan pakaian yang menurut gue sangat nggak cocok berada di tempat seperti gini. Style-nya terlalu mahal dan edgy untuk bertandang ke warung mie ayam pinggir jalan.
Pria itu mengenakan baju putih lengan pendek, celana kain panjang berwarna hitam, dan pada bahu kanan dan kirinya terdapat empat garis berwarna kuning keemasan. Well, i know what kind of job he did.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Dalam Udara[RE-PUBLISH]
RomancePrintilan kisah Caca, seorang pramugari salah satu maskapai swasta yang terjebak dalam kisah cinta dengan tiga pria yang sama-sama bekerja di Udara. Siapakah yang Caca pilih? Sang Captain? Sang Mayor? Atau Sang Sersan? @2018