***
"Cacaaa, ini ada Cece.."
Sepagi ini, teriakan Abang sudah seperti abang-abang penjual ikan julung-julung kiloan. Menggelegar bukan main.
Caca, dan Cece. Pusing nggak dengernya? Sama, gue juga engap. Rasanya ingin mengajukan penggantian nama secara ilegal.
"Suruh langsung ke kamar aja, Bang." Teriak balas teriak dong.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk seorang seperti Cece sampai di kamar gue. Pintu kamar tiba-tiba saja sudah diketuk. Cara mengetuknya juga yang nggak wajar. Pintu terbuka menampilkan sesosok makhluk yang tak pernah mau bertaqwa. Cece langsung berlari masuk dengan tergesa-gesa, lalu berakhir tengkurep di ranjang gue.
"Pagi buta udah nongol aja lo kayak nggak punya rumah." Gue yang sejak tadi bergelung malas beralih duduk di samping Cece. Belum mandi saja sudah kedatangan tamu. Di mana lagi gue bisa menemukan sahabat seperti Cece ini. Mengagumkan.
"Gue tadi habis ngurus keperluan buat kuliah." Cece memperlihatkan tumpukan kertas dari dalam tas yang ia bawa.
"Ribet. Gue bolak-balik sana-sini. Naik-turun. Jungkir-balik. Udah pengen nangis saking capeknya," keluhnya sembari menunjukkan wajahnya yang lelah.
"Yaudah, lo kayak gue aja. Gampang, kan?"
"Lo bener nggak kuliah?" tanyanya. Cece menatap gue, menunggu jawaban.
Tanpa berpikir panjang, gue mengeluarkan segala kesombongan. "Mungkin kalau kuliahnya di Seoul, gue tancap gas," canda gue.
"Gue juga mau, sih. Kalo di Seoul, kita nggak usah kuliah. Bikin channel mukbang aja." Cece terbahak sembari memukul-mukuli ranjang. Pikirannya selalu saja aneh-aneh.
"Iya, habis itu lo diseret ke lubang buaya sama bokap lo. Dan gue dijual ke warung remang-remang sama Mama."
"HAHAHAHA!" Cece berguling-guling di ranjang sembari tertawa lepas. Sepertinya dia benar-benar membayangkan bagaimana rasanya diseret ke lubang buaya. Nggak tau deh. Mau ngomong apa lagi rasanya gue udah nggak sanggup.
Daripada otak ikut geser, gue memilih turun ke lantai bawah untuk mengambil camilan, lalu kembali lagi ke kamar. Harus ada sesuatu yang disuguhin ke mulutnya Cece, supaya omongannya yang nggak jelas itu terjeda setidaknya untuk satu menit saja.
"Nih makan.." Gue melempar semua camilan yang gue bawa.
"Anda tahu aja mulut lumba-lumba saya butuh makanan."
"Dody kuliah juga?" Sembari mengutak-atik laptop, gue menanyakan Dody pada Cece. Hampir lupa rasanya kalau gue punya satu lagi makhluk peliharaan.
"Emm, enggak kayaknya," jawab Cece.
"Terus?"
"Kayaknya dia mau coba daftar Angkatan Udara,"
"Dia cerita sama lo? Kenapa nggak cerita ke gue?"
"Nggak tau juga, sih. VC aja dulu." Cece ngambil ponsel gue di atas bantal.
"Password-nya masih sama?"
"Beda. Kemarin Abang pinjem hape itu. Curiganya sih dia nonton bokep, jadi gue ganti."
"Astagfirullah, boleh juga nih minta link sama si Abang," selorohnya. Anak ini memang begitu. Biarkan saja. Imannya juga sudah tipis.
Gue kembali memperhatikan layar laptop. Di sana, sudah tertera berbagai macam inspirasi pekerjaan yang membuat gue bingung. Kebanyakan persyaratannya minimal S1, S2, bahkan S3. Sedangkan gue hanya seonggok gadis lulusan SMK yang sering diremehkan orang, "Lulusan SMK bisa apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Dalam Udara[RE-PUBLISH]
RomancePrintilan kisah Caca, seorang pramugari salah satu maskapai swasta yang terjebak dalam kisah cinta dengan tiga pria yang sama-sama bekerja di Udara. Siapakah yang Caca pilih? Sang Captain? Sang Mayor? Atau Sang Sersan? @2018