Rintik Pertama

457 21 0
                                    

"Datang dari mimpi semalam. Bulan bundar bermandikan sejuta cahaya. Di langit yang merah, ranum seperti anggur. Wajahmu membuai mimpiku. Sang pujaan tak juga datang. Angin berhembus bercabang. Rinduku berbuah lara"

- Payung Teduh -

Satu bait lagu itu mengalihkan perhatianku dari layar notebook. Untuk beberapa saat, mataku menatap kosong ke arah luar. Langit terlihat sedikit mendung sore ini. Aku kembali menghembuskan nafas frustasi. Sudah hampir satu tahun novel buatanku ini tak kunjung rampung. Saat ini perjalanannya sudah sampai di bab kesepuluh dan belum ingin berlanjut. Ketika beberapa penulis dalam setahun menghasilkan dua sampai tiga buku, aku hanya bisa menuliskan sepuluh bab saja. Beberapa orang temanku bilang bahwa aku adalah penulis yang payah dan lamban. Apabila mereka mengejekku seperti itu, aku selalu menolak perkataannya. Menurutku, aku bukan penulis yang lamban.

Lebih tepatnnya aku adalah penulis yang perfeksionis. Penulis yang selalu mendamba kesempurnaan disetiap ceritanya. Lagipula, menulis terburu-buru itu tidak baik. Hal yang dilakukan secara terburu-buru akan menghasilkan sesuatu yang kurang sempurna. Maka dari itu, aku tidak suka menulis dengan terburu-buru karena aku ingin tulisanku ini menjadi karya masterpiece sepanjang hayat.

Aku kembali fokus pada layar notebook. Melihat nama tokoh di dalam novelku, aku lupa belum memberikannya tempat tinggal. Akhirnya, aku kembali berselancar di google. Mencari perumahan yang indah di daerah Bandung. Teringat daerah Pondok Hijau di Setiabudi. Sepertinya tempat itu cocok untuk tempat tinggal tokohku. Ah iya, dulu mantan kekasihku juga tinggal di sana. Namanya Ria, eh Ria atau Lia ya? Aku lupa.

Aku beralih ke facebook, ingin bertanya pada Mark Zuckerberg tentang nama mantan kekasihku itu. Dia kan satu-satunya orang yang bisa menghimpun informasi tentang banyak orang. Bahkan si Mark ini juga membiarkan lapaknya ditulisi banyak cerita oleh orang-orang sedunia.

Ku cari namanya di laman teman facebook. Ku cari satu persatu nama dengan inisial R dan kudapatkan profilenya. Ketika kubuka, ada kabar bahagia drinya. Ternyata baru saja dia menikah kemarin. Bersama seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya. Hih, nikah sama om-om. Kenapa seleranya jadi turun drastis seperti itu ya?

Setelah mengecek profilenya, aku mengecek inbox yang masuk ke akun facebook-ku. Ada banyak pesan yang orang-orang tinggalkan. Salah satunya dari mahasiswa yang kuajar di kampus. Mahasiswa centil yang selalu mencari perhatian padaku. Padahal jelas-jelas aku tidak akan suka dengannya karena aku telah memiliki pujaan hati.

Sebuah panggilan video masuk lewat aplikasi skype. Di sana tertera nama yang sering aku ucapkan dalam setiap doaku. Shanum, si jelita yang telah lama menghilang di hadapanku. Kupencet tombol hijau dan terpampanglah wajah Shanum yang cantik. Seperti biasa ia melambaikan tangannya dan memeberi senyum legit yang membuat gigiku rasanya jadi ngilu. Ia menyapaku, nada suaranya yang lembut sangat enak didengar.

"Hai! Lagi dimana kamu Bi? Kayanya kamu lagi di luar ya? Tumben gak di rumah." Si cantik itu meledek. Hari ini ia mengenakan baju berwarna merah maroon. Tak lupa syal melingkar di lehernya. Di sana sedang musim gugur.

"Iya nih, lagi pengen di luar aja. Biasa Num, lagi nulis."

"Wih.. si pujangga kita masih suka nulis ternyata. Udah sampe mana nih?"

"Baru BAB sepuluh Num dan seperti biasa aku belum mau lanjutin karena semuanya harus perfect!"

"Hahahaha... seperti biasa ya. Dasar si perfeksionis. Udah lama kita gak ngobrol. Gimana kabar kamu?"

"Kabarku baik, kabar ibu sama Roni juga baik di rumah. Kamu gimana Num?"

"Aku baik-baik juga ko di sini Bi. Tapi beberapa bulan kebelakang ini lagi sibuk. Aku belum cerita ke kamu ya? Kemarin aku baru launching toko prafume di sini. Bisnis ayah si sebenernya, Cuma aku yang kelola sekarang."

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang