Tak terasa gelappun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Namun juga ia takut
Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya
Di malam hari menuju pagi
Sedikit cemas banyak rindunya
-Payung Teduh-
Waktu istirahat sebelum pulang adalah waktu kesukaanku. Akhirnya, setelah seharian mengajar di kelas, aku bisa bersantai di ruangan dosen. Ku putar musik lalu merebahkan tubuh yang lelah di kursi empuk. Dosen-dosen yang lain telah lebih dulu pamit. Hanya tinggal aku saja yang masih berdiam diri karena masih harus mengurus pekerjaan.
Saat sedang menikmati alunan musik dan bersantai, tiba-tiba saja suara di gawaiku berubah menjadi nada dering telepon. Saat dilihat, nama Nadira tertera di sana. Aku menghela nafas lalu mengangkat telepon dengan enggan.
"Halo?"
"Malam mingu nanti lo sibuk gak? Gue mau kenalin lo nih sama temen gue yang.."
"Nadira, aku kan udah bilang. Berhenti kenalkan aku pada teman-temanmu. Aku sudah memutuskan untuk berhenti membahas ini. Aku hanya ingin fokus dengan pekerjaanku sekarang." Kataku menyekat omongannya.
Nadira terdiam beberapa saat, akupun kembali menghela nafas panjang. Enam bulan setelah kejadian di Paris, aku kembali pada kehidupanku seperti biasa. Mengajar di kampus dan juga meneruskan novelku yang sebentar lagi akhirnya akan rampung. Setelah kepulanganku itu, Nadira dan calon suaminya Tito selalu memperknalkanku pada teman-teman dekat mereka. Alasan mereka melakukan itu hanyalah satu, yakni ingin membuatku lupa dengan Shanum dan Diandra. Ya, mereka tahu segalanya, bahkan ceritaku dengan Diandrapun mereka sudah hatam. Awalnya mereka berdua kaget denganku yang tiba-tiba menyukai seorang pria. Namun lama kelamaan, akhirnya merekapun mengerti dan menerima.
Cerita tentang Diandra ini hanya mereka berdua yang tahu. Aku tidak berani dan sepertinya tidak akan pernah berani untuk menceritakan kisah ini pada ibu. Pasalnya, setelah kepulanganku dari Perancis tiba-tiba saja ibu jatuh sakit. Jasa kateringnya pun terpaksa harus berhenti karena ibu harus istirahat total. Aku tidak mau membebani ibu dengan masalah ini, jadi kuputuskan untuk membuangkam cerita ini rapat-rapat. Bahkan akupun telah berbicara pada Nadira dan Tito untuk tidak menyinggung masalah ini di depan ibuku.
Berbicara soal Diandra, setelah kejadian di Sungai Seine itu aku tak pernah bercakap lagi dengannya. Kutunggu balasan suratku darinya, namun pesan itu tak kunjung datang. Beberapa minggu ini aku sudah memutuskan untuk tidak berharap banyak lagi, maka dari itu aku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaanku seperti sekarang.
"Maafin gue deh Bi, gue gak akan comblangin lo lagi kaya kemaren-kemaren." Katanya menyambung telepon yang sempat terputus dengan keheningan.
"Awas ya, kamu harus janji."
"Iya, eh weekend nanti lo sibuk gak?"
"Enggak, kenapa?"
"bantuin gue cari jam tangan yang cocok buat kado ulang tahun Tito yuk!"
"Boleh, nanti aku jemput kamu aja ke rumah. Dari rumahmu deket kan ke Ciwalk, kita cari jam tangan di sana."
"Ok deh Bi, ya udah gue mau pergi dulu sekarang. Cepet pulang lo, jangan kelamaan di kampus. Kasian ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Romance"Kau seperti petrichor. Membawa ranai dalam cengkar. Bagai rinai hujan yang melepas dahaga tanah tandus" - Abinaya Basupati