Rintik Kedua

198 20 16
                                    


Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi

Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih

Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah

-Korrie Layun Rampan-

Aku kembali menghela nafas ketika membaca pesan singkat dari Ketua Prodiku. Pesan itu mengatakan bahwa keberangkatanku untuk megikuti seminar internasional dibatalkan. Ia memberi tahuku secara mendadak, katanya ia akan pergi sendiri tanpa ditemani oleh asistennya yaitu aku. Cukup kesal memang, tapi apa dayaku? Jika aku merah-marah dan memaksa ikut, yang ada nanti pekerjaanku sebagai dosen muda bisa terancam. Aku tidak ingin didepak begitu saja dari jajaran dosen karena hal sepele. Mendapatkan pekerjaan ini sungguh sulit dan memakan banyak waktu. Jadi kubiarkan saja dia pergi sendirian.

Pada akhirnya, hari minggu ini kuisi dengan menemani ibu dan si Roni adikku di rumah. Pagi tadi, ibuku cukup sibuk dengan pesanan catering-nya. Tetanggaku mengadakan pengajian, esok hari ia akan menikah.

Sejak ayahku meninggal, ibu menggunakan dana pensiunannya sebagai modal untuk membuka usaha catering. Tak pernah kami sangka sebelumnya. Usaha itu berkembang pesat. Awalnya ibu mengerjakan semuanya sendiri. Sekarang, ibu sudah punya lima asisten. Mba Darmi, Ika, Lina, Aku dan tentu saja Roni. Ya sebenarnya aku dan Roni jarang membantu sih karena harus bekerja dan sekolah. Tapi ketika ada pesanan di weekend seperti ini, biasanya kami berdua turun tangan membantu.

Usai mengurusi semuanya sampai mengantarkan catering ke lokasi acara, aku kembali ke rumah. Menemani adikku bermain playstation. Perbedaan usiaku dan roni tidak jauh. Saat usiaku enam tahun, adik kecilku ini lahir. Kini ia telah menjelma menjadi remaja yang gagah dan tengil. Ia baru saja lulus SMA dan sebentar lagi kuliah di jurusan yang ia idam-idamkan. Arsitektur.

Aku dan Roni memiliki perwatakan yang jauh berbeda. Roni itu pria yang bisa dikatakan lebih agresif. Senang jalan-jalan di luar bersama teman-temannya. Pulang malam bersama teman satu gengnya dan dia adalah seorang pria playboy. Sudah sering aku melihat ia di rumah dengan gadis yang berbeda-beda. Bahkan aku pernah melihatnya berganti perempuan dalam kurun waktu yang singkat. Hari ini membawa gadis berambut panjang dengan mata belo, esok harinya membawa gadis berambut pendek dengan mata sipit.

Sedangkan aku, aku adalah tipe lelaki yang tak suka pulang malam hanya untuk sekedar menghabiskan waktu luang. Aku jauh lebih suka diam di kamar, membaca buku, mendengarkan musik, atau menemani ibu di ruang tengah. Menonton sinetron. Aku juga jarang membawa perempuan ke rumah. Kecuali Nadira dan tentu saja gadisku, Shanum. Bahkan, pacaranpun hanya satu kali. Dengan Ria, si wanita yang beberapa hari lalu sudah menikah dengan ABG tua.

Terkadang, ibu juga selalu betanya-tanya kepadaku. Mengapa sampai sekarang aku belum pernah menjalin kasih lagi dengan orang lain. Seperti biasa jika ibu bertanya mengenai hal itu, aku akan menjawab belum waktunya. Setelah itu barulah adikku Roni akan memaki dan meledek. Mengejekku gak laku lah, bujangan tua lah, dan lain sebagainya. Pada akhirnya akan terjadi perang omongan dan gelitikan antara aku dan Roni yang tak bisa ibu lerai.

Waktu maghrib, kami bertiga berkumpul di ruang tengah. Memakan pisang goreng yang dibuat Mba Darmi sebelum pulang tadi. Seperti biasa, kami menonton sinetron yang ibu suka. Roni beberapa kali merengek ingin memindahkan chanel tv pada acara talkshow kesukaannya. Tapi ibu telah menggenggam remotnya, jadi ia tak bisa berkutik apapun lagi.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang