Rintik Ketigabelas

115 15 2
                                    

Diandra P.o.V

Paman itu memberikan dua cangkir kopi. Aku membayarnya dan berterimakasih. Ia menjawabnya dengan riang gembira sembari mengambil uang pemberianku. Aku menghela nafas, lalu kulihat antrean di belakangku semakin banyak. Harinya semakin mendung, akupun merasa takut hujan akan turun. Sayang sekali aku tidak membawa payung. Padahal aku sudah lama tinggal di sini, seharusnya aku terbiasa membawa payung kemana-mana.

Akupun berhenti sejenak, tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu. Saat mantan kekasihku masih hidup. Ia sering membawa payung kemana-mana. Setiap hujan turun, dengan otomatis ia akan mengeluarkan payungnya dan menarikku untuk ia dekap. Katanya agar aku tidak kehujanan. Ia selalu melindungiku, ia tak mau aku kedinginan. Hal yang sepele tapi dengan cara seperti itu ia berhasil membuat diriku luluh dan merasa menjadi orang paling beruntung.

Aku menatap langit, dan lisanku memanjatkan sebuah doa untuk ketenangannya di alam sana. Semoga sekarang ia sudah tenang, dan bisa menikmati hidupnya kembali di surga. Aku kembali tersadar, Abi pasti sudah menungguku lama. Tergopoh-gopoh ak jadinya. Ketika kembali ke tempat semula, aku melihat Abi masih berdiri di tempatnya. Namun kali ini aku melihatnya merunduk. Bahunya merosot turun. Seperti kehilangan semangat. Aku menepuk punggungnya, ia berbalik dan aku melihat raut wajah yang sedih. Tapi ia memaksakan tersenyum di hadapanku.

"Lama sekali, antreannya panjang?"

"Ya seperti itulah. Abi, apa kau baik-baik saja?"

"Ya tentu, memangnya kenapa?"

"Tidak, hanya saja kau terlihat.."

"Ahh.. sudah jangan dipikirkan. Ayo kita duduk di sana" katanya sambil menunjuk sebuah kursi.

Aku mengekor dibelakangnya, ia duduk di sebelah kananku. Ku berikan secangkir kopi untuknya. Ia tersenyum sambil berterimakasih. Kopi itu nikmat. Aromanya menyeruak dalam penghiduku. Sangat menenangkan. Tiba-tiba saja aku merasakan Abi melingkarkan tangannya di bahuku. Awalnya aku merasa ini hanyalah ilusi. Namun saat ku tengok, tangannya kini sedang mengelus-elus bahuku. Aku menengok ke arahnya, ia juga ternyata sedang memperhatikanku.

"Kenapa?"

"Tidak" jawabku dengan merona.

Wajah ini semakin memerah dan memanas. Jantungku berdegup dengan kencang lagi. Kalau dipikir-pikir, aku seperti sosok zombie dalam film Warm Bodies. Jantungku sudah lama tak merasakan hal seperti ini. Terakhir kali aku merasakannya ketika perayaan hari valentine dengan mantan kekasihku tiga tahun yang lalu. Saat ia masih hidup, saat kanker belum menyerang otaknya. Aku berdehem dan duduk tegap, meninggalkan dengan paksa tangan Abi yang sedang mengelus.

"Sudah jam tiga sore, ayo kita pergi ke tempat selanjutnya."

"Masih ada lagi?"

"Ya tentu saja, ini akan menjadi tur terakhir kita hari ini dan akan ku jamin kau pasti akan menyukainya. Aku mempersiapkan ini dengan baik. Kuharap kau suka."

"Kita akan pergi ke mana?"

"Tungggu saja hingga kita sampai di sana. Ayo!"

Tangan itu tak terasa ku pegang dan kutuntun. Kami berdua berjalan kembali beriringan. Seperti layaknya sepasang kekasih.

Selanjutnya aku akan mengajak Abi menaiki Bateaux Moches untuk mengarungi Sungai Seine. Bukan hanya menaikinya, tapi kami juga akan menikmati dinner dengan servis yang pasti akan memanjakan kami berdua. Aku telah berkorban membuka tabunganku untuk melakukan ini semua. Aku ingin memberikan sesuatu yang spesial, dan kurasa untuk mekukan itu semua aku harus rela mengorbankan tabunganku. Aku sudah gila memang, tapi biarlah. Biarkan kegilaan ini membuat diriku senang dan membuat Abi senang. Aku tahu dia sedang membutuhkan sesuatu untuk membuat dirinya bahagia.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang