Hello readers! akhirnya kita sudah tiba di ujung cerita. Chapter ini akan menjadi chapter terakhir kehidupan Abi di Paris. Jangan terkejut dengan ceritanya karena memang sudah direncanakan hanya lima belas chapter saja. Chapter selanjutnya akan menjadi epilog dari cerita ini.
Galih ucapkan terima kasih kepada readers yang sudah mau membaca cerita ini. Komentar dan saran sangat Galih butuhkan untuk kesempurnaan penulisan selanjutnya. Maafkan keamatiran Galih ini ya :'(
Jangan lupa di vote dan sampai jumpa di chapter terakhir minggu depan. Love you guys..
*****
Aku membanting gawai ke atas kasur. Mulai frustasi dengan situasi seperti ini. Sudah puluhan kali kucoba menghubunginya namun ia tak juga membalas ataupun mengangkat teleponku. Diandra sudah berhasil membuatku gila hanya dalam kurun waktu beberapa jam saja. Hari kedelapanku di Perancis, ku habiskan hanya dengan berdiam diri di kamar dan memikirkan kejadian kemarin. Rasa sesal karena teleh berani mencium Diandra sangat mengganjal di dalam hati. Aku duduk di hadapan cermin, perutku berbunyi. Aku sadar bahwa seharian ini perutku belum terisi oleh apaun. Akhirnya aku menyerah, meninggalkan gawaiku di kamar dan turun ke restoran untuk mengecek apakah tuan Roussell masih menyimpan makanannya untukku.
Jullien menyambut dengan cemas ketika aku tiba di restoran. Ia mengoceh tentang keadaanku. Meyakinkan dirinya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku bilang sedang tidak enak badan. Aku terpaksa harus berbohong karena enggan bercerita panjang lebar mengenai Diandra. Tak berselang lama tuan Roussell datang juga menghampiriku dengan membawa sepiring makanan dan orange juice.
"Masalah cinta?"
Aku mengabaikannya, hanya melahap makanan dengan tatapan kosong ke arah lantai.
"Tidak baik jika kau memendamnya sendiri. Ceritakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu."
Aku menelan makanan, sambil menatap ke arah Tuan Roussell. Setelah itu ku lap bibirku dan menarik nafas.
"Aku mencintai seorang pria dan sekarang ia membenciku karena aku menciumnya secara tiba-tiba."
Jullien terdengar memekik dari arah dapur. Seketika ia langsung berlari dan menghampiri mejaku. Tuan Roussell sedikit tersenyum.
"Kau? Mencintai sorang pria? Bukan kah beberapa hari yang lalu kau bilang sedang mengejar-ngejar seroang gadis di sini?"
"Wanita itu tidak mencintaiku Jullien, dan entah mengapa aku bisa secepat ini berubah haluan. Ia datang di waktu yang sangat tepat, saat aku membutuhkan seseorang untuk berbagi kasih dan menutupi luka di hati."
"Siapa pria itu?"
"Kau pernah bertemu dengannya, pria yang pernah datang ke sini."
"Ah.. anak manis itu, ia kelihatannya baik. Jadi kenapa ia bisa membencimu?"
"Entahlah Tuan, jika aku tahu maka aku tidak akan resah seperti ini. Kemarin kami jalan-jalan berdua dan ketika akan pulang aku menciumnya. Ia juga sempat membalas ciumanku tapi setelah itu ia tiba-tiba pergi dan sampai sekarang belum memberi kabar apapun."
"Bisa jadi ia merasa terkejut dengan perlakuanmu yang mendadak seperti itu, berilah ia sedikit ruang untuk berpikir. Dia terlihat seperti anak yang baik. Percayalah, kau akan baik-baik saja."
Ketika Tuan Roussell dan Jullien mengoceh memberikan saran, mataku menatap ke luar. Aku menemukan sosok seseorang yang selalu menyita perhatianku. Gabriel! Lelaki serba putih bagai hantu itu menatap lurus ke arahku. Ia melambaikan tangannya lalu mengajakku untuk mengikutinya dengan isyarat. Aku beranjak dari kursi, kedua orang yang ada di hadapanku menatap aneh. Tanpa berpamitan aku berlari mengejarnya ke luar. Udara dingin mulai menggerayangi tubuhku yang hanya mengenakan kaus tipis dan celana pendek, rintik hujanpun mulai turun dan membasahi kepalaku. Aku mengekor di belakangnya. Gabriel berlari di depanku dengan tawa yang lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Romance"Kau seperti petrichor. Membawa ranai dalam cengkar. Bagai rinai hujan yang melepas dahaga tanah tandus" - Abinaya Basupati