Rintik Keempat

153 15 2
                                    

            Aku berlarian, mencari sesuatu yang sedang kubutuhkan. Ah ralat, bukan sesuatu. Tapi seseorang. Hatiku mengatakan bahwa gadisku tengah berada di tempat ini. Sebuah suara berbisik di telingaku tadi. Mengatakan bahwa Shanum telah lama menungguku di tempat ini. Kembali ku berlari menyusuri jalan. Tanah basah yang kupijak kini berubah menjadi rumput dengan bunga-bunga kecil berwarna putih. Aku mengedarkan pandangan, tiba-tiba saja aku berada pada sebuah taman bunga yang sangat indah. Seorang gadis duduk dengan anggun pada sebuah ayunan. Itu gadisku, ia melambaikan tangan sambil tersenyum manis. Memperlihatkan deretan gigi putihnya seperti gula-gula. Kuberlari lebih kencang, menggapai apa yang kuinginkan.

"Abi.." teriaknya.

Gadisku berlari dan menjatuhkan dirinya dalam pelukku. Ku dekap erat seperti tak ingin kulepas. Kusesap harumnya, sungguh nikmat. Ia menengadah menatapku, senyumnya kembali mengembang. Bibirnya yang merah ranum itu menggodaku. Shanum memejamkan matanya, ia sangat pengertian. Kudekatkan diriku padanya, semakin lama wajah kami semakin berdekatan. Hembusan nafasnya terasa di wajahku. Pada akhirnya..

Suara jam dering memekik di telingaku. Sial! Jam bodoh ini mengganggu kesyahduanku bersama Shanum. Lebih kesal lagi saat kusadari bahwa semua itu hanyalah sebuah mimpi. Aku duduk, mengumpulkan nyawaku untuk membuka mata lebar-lebar. Sudah pukul tujuh. Aku ingat, semalam ada seseorang yang kuselamatkan dan tertidur di sampingku. Aku menengok ke sebelah, tak ada siapapun. Orang itu pergi begitu saja?

Terdengar suara pintu balkon berdecit. Orang itu ternyata sudah bangun. Keadaannya terlihat sudah jauh lebih baik. Ia memberi senyum lemah kepadaku.

"Kau sudah bangun?"

"Ya, mataku sudah terbuka dengan lebar sekarang. Sejak kapan kau bangun?"

"Dua jam yang lalu, dari tadi aku duduk di sana. Aku tidak ingin menganggu mimpi indahmu. Sejak tadi kau bergumam. Menyebutkan nama Shanum. Kekasihmu?"

Wajahku terasa memerah, ah aku ketahuan mengigau.

"Tak usah malu. Wajar jika kau seperti itu. Itu artinya kau sedang rindu."

Pria itu duduk di tepian ranjang. Masih memandangku.

"Aku Diandra, dan kau?"

"Diandra? Nama yang aneh untuk orang Perancis."

"Tidak aneh jika salah satu orang tuaku berasal dari negara asia. Ibuku orang indonesia."

"Orang Indonesia?" aku mengubah kode bahasaku menjadi Bahasa Indonesia. Ia terperangah.

"Wah, ternyata kau juga orang Indonesia ya. Siapa namamu?" Bahasa Indonesianya terdengar aneh. Namun bisa dikatakan lancar untuk orang Perancis.

"Abinaya Basupati, panggil aku Abi. Ibumu orang mana? Maksudku ibumu berasal dari daerah mana?"

"Ibuku seorang gadis Bali."

Sudah kuduga, pasti orang Bali.

"Terima kasih sudah menolongku. Jika kau tak menolongku, mungkin pagi ini aku akan terbangun di jalanan dengan keadaan orang-orang sudah mengerumuniku."

"Tak apa, semalam ada orang yang memukulimu. Siapa mereka?"

Diandra diam, tak mau menjawab. Aku tak berani mengorek informasi lebih dalam. Mungkin itu urusan pribadinya. Tak sopan jika kuteruskan.

Suara perut Diandra tiba-tiba terdengar. Ia memegangi perutnya lalu melihat ke arahku dengan malu.

"Ayo kita turun ke bawah. Sepertinya perutmu perlu diisi."

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang