Malam tadi aku kembali mengecek akun skype, keberadaan Shanum masih belum juga terlihat. Akhirnya ku putuskan untuk tidur dengan cepat. Pagi ini aku terbangun dengan semangat baru. Hari ketiga di Paris, dan semoga aku mendapatkan keberuntungan hari ini. Pagi ini ku awali dengan mandi, tubuhku terasa segar setelah itu. Lalu aku duduk sebentar di Balkon, menuliskan beberapa paragraf untuk novelku yang sulit untuk rampung ini. Merasa ruwet untuk melanjutkan jalan ceritanya, aku teringat bahwa Le Regent Montmarte ini memiliki pojok baca yang mungkin saja bisa menyumbangkan ide untukku. Aku berganti pakaian dengan celana jeans, kaus putih dan juga sweater berwarna abu.
Pojok baca ini dibuat untuk memanjakan pengunjung. Banyak sekali sofa yang disediakan. Namun dari kemarin aku belum melihat siapapun datang ke sini. Kebanyakan pengunjung mendatangi ruang bermain. Jadi sekarang aku sedang sendirian di sini. Aku menelusuri buku-buku yang berjejer rapi dalam rak. Harumnya menandakan umur si buku yang sudah tua. Bau kertas lama dan aku sangat suka itu. Kebanyakan buku-buku yang menjadi penghuni di ruang pojok baca ini adalah buku sastra klasik. Aku menemukan Brave New World milik Aldous Huxley. Selain itu juga ada Neuromencer-nya William Gibson yang pernah membuatku terkagum-kagum. Selain prosa, ada juga buku-buku kumpulan puisi. Seperti yang sedang ku pegang saat ini. Buku kumpulan puisi Pablo Neruda yang sangat terkenal. Aku menyukainya.
Aku memilih salah satu sofa ternyaman dan kumulai membaca buku itu. Sebuah kertas kecil melayang saat kubuka halaman pertama. Kertas itu bertuliskan sebuah kutipan puisi lengkap dengan tanggal dan sebuah tanda tangan. Aku menelitinya sekali lagi. Penasaran, aku mengecek di buku-buku yang lain. Sesuai dengan dugaanku, di setiap buku terselip satu kertas kecil dengan ukuran yang sama. Bertuliskan potongan-potongan puisi yang berbeda.
"Hey Abi!" suara Jullien mengejutkanku.
"Ada seseorang yang sedang menunggumu di bawah. Ternyata kau ada di sini, tadi aku menyusulmu ke kamar."
"Baiklah, terima kasih Jullien. Aku akan segera ke bawah. Eh, Jullien?"
"Ya?"
"Apakah buku-buku ini sengaja dibeli?" tanyaku.
"Tidak, kebanyakan buku-buku itu dari sumbangan seseorang. Entah siapa yang memberinya. Setiap tahun buku ini akan selalu bertambah. Di awali dengan sebuah kotak yang ditinggalkan di depan pintu. Kotak itu biasanya menuliskan sebuah nama. Untuk tuan Roussell."
"Tuan Roussell? Ia suka membaca?"
"Entahlah, aku tak pernah melihatnya membaca. Ku rasa tidak. Aku harus segera kembali ke dapur. Ku sarankan kau cepat-cepat turun ke bawah untuk menemui tamu itu. Ia sangat menanti kedatanganmu."
Sesuai saran Jullien, aku turun ke resto setelah merapikan kembali buku dalam rak. Sesampainya di lantai bawah aku melihat seseorang sedang duduk sendirian menghadap ke luar. Aku berjalan perlahan menghampirinya dan berdehem. Orang itu berbalik dan sungguh aku sangat terkejut. Di hadapanku sekarang Shanum tersenyum manis. Rambutnya ia kuncir kuda. Mengenakan mantel merah muda. Wajahnya sama seperti biasa, sangat cantik.
"Shanum!"
Gadisku mendekat dan mendekap erat. Wangi parfumnya enak untuk disesap. Manis rasanya.
Sahnum memekik kegirangan. Ia menyebut namaku berkali-kali diikuti dengan kata 'kangen'. Suaranya yang manja membuat diriku semakin jatuh cinta. Ah~ akhirnya aku bertemu dengan gadisku.
"Kenapa kau tidak memberitahu? Aku kan bisa menyiapkan sambutan hangat untukmu Bi."
"Tadinya aku ingin memberi kejutan dengan datang ke rumahmu. Aku bertemu dengan ayah-ibumu dan mereka bilang kau sudah pindah ke apartemen. Aku juga mengunjungimu kemarin di Edgar Suites, sayangnya lagi tetanggamu yang ramah memberitahu kalau kau sedang pergi bersama rekan kerjamu kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Romance"Kau seperti petrichor. Membawa ranai dalam cengkar. Bagai rinai hujan yang melepas dahaga tanah tandus" - Abinaya Basupati