Seperti biasa aku terbangun saat pagi mulai datang. Kali ini entah kenapa aku terbangun dengan semangat yang menggebu. Padahal semalam aku kekurangan waktu tidur. Aku pulang dari apartemen baru Diandra sekitar pukul satu dini hari. Selepas itu aku tidak langsung terlelap di kasurku. Banyak pikiran yang melayang dalam impresi. Pekerjaanku, ibu, Roni, tugas-tugas mahasiswa yang tertumpuk dalam surel, dan yang paling mendominasi adalah pikiranku tentang sosok Diandra.
Aku sudah merasakan ada sebuah keanehan yang terjadi pada diriku. Tak pernah sebelumnya aku memikirkan sosok seorang lelaki hingga larut malam seperti kali ini. Hanya Diandra yang bisa. Sudah sekian kali aku mencoba untuk mengenyahkannya dalam pikiran. Namun hasilnya nihil, sosoknya yang memikat (lihatlah, aku sudah terang-terangan berbicara tentangnya) selalu datang lagi dan lagi. Aku sampai sedikit risau dengan diriku, apakah aku sudah berubah menjadi pria homoseksual dengan sekejap? Dan apakah ini ada kaitannya dengan kekecewaanku atas penolakan Shanum? Ahhh... pusing. Kubiarkan saja semuanya berlalu. Yang pasti, sekarang aku sedang membutuhkan banyak hiburan dan kesenangan. Aku tidak ingin terlalu hanyut dalam situasi kemarin. Aku harus kembali lagi seperti semula.
Memandangi Sacré Cœur selalu menjadi rutinitas pagiku kali ini. Lagi dan lagi aku duduk di balkonku seorang diri. Secangkir kopi terlihat mengepul di meja kecil. Aku menyeruputnya perlahan, diakhiri dengan desahan nikmat. Seketika aku ingat, aku belum pernah berfoto dengan gedung itu. Kuangkat gawaiku dari meja, ku arahkan kameranya menghadap ke arahku dengan background gedung putih itu. Satu foto kudapatkan, kukirim langsung pada ibuku.
Ketika hendak mengambil swafoto yang kedua, tiba-tiba saja dering tanda panggilan berbunyi. Nama Diandra tertera di layar. Aku mengangkatnya dengan segera dan terdengarlah suaranya yang sudah sangat ku kenal.
"Selamat pagi!" katanya bersemangat.
"Hai, selamat pagi. Ada apa? Tumben sekali kau menelfonku sepagi ini."
"Sudah nanti saja jika ingin bertanya. Sekarang cepat kau mandi dan kenakan baju terbaikmu. Kita pergi."
"Pergi? Maksudmu bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Turuti saja apa yang aku instruksikan. Sekarang pergi mandi dan bersiaplah. Bawa perlengkapan secukupnya. Jangan lupa bawa kamera digitalmu. Aku tunggu kau di 1 Avenue du Colonel Henry Rol-Tanguy."
"Apa? Bisa akau katakan alamatnya sekali lagi."
"Nanti akan ku kirim ulang. Sekaran kau pergi mandi lalu sarapan. Kutunggu kau jam delapan di alamat yang sudah ku berikan. Jangan sampai telat, à bientôt!"
Ia menutup sambungan telfonnya dan tiba-tiba saja aku menyunggingkan sebuah senyuman. Jiwaku menggebu, semangat tiba-tiba berkobar dalam dadaku. Aku bangkit dan segera menuju kamar mandi sambil bersenandung riang.
*****
AUTHOR P.o.V
Berkali-kali Abi menanyakan penampilannya pada Jullien. Ia berputar-putar seperti seorang penari balerina di resto. Jullien sampai bosan memberitahunya bahwa penampilan Abi sudah sangat baik. Untuk yang terakhir kalinya Jullien hanya mengangkatkan jempol dan Abi tertawa.
"Sebenarnya kau akan pergi ke mana?"
"Ke Katakombe."
Tak berapa lama Jullien tertawa lepas. Tawanya hingga mengejutkan beberapa orang yang sedang sarapan di sana. Tuan Roussell pun sampai menghampiri mereka berdua dengan membawa sebungkus roti dan sekotak susu pesanan Abi.
"Kenapa kau tertawa Jullien?" tanya tuan Roussell
"Lihatlah tuan! Lihat ia. Tamu kau ini berdandan rapi hanya untuk mengunjungi pemakaman masal orang-orang Perancis. Mungkin ia berpikir akan bertemu dengan tengkorak cantik yang akan ia kencani." Jullien tertawa lagi. Abi menghiraukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Romance"Kau seperti petrichor. Membawa ranai dalam cengkar. Bagai rinai hujan yang melepas dahaga tanah tandus" - Abinaya Basupati