Aku menatap kertas kecil itu. Villa Thoreton 75015, Paris, Perancis. Begitulah tulisan yang tertera di sana. Itu alamat apartemen Shanum, Edgar Suites. Setelah melihat alamat untuk kesekian kalinya, ku alihkan pandanganku sekarang. Pada cincin yang tergantung di leherku. Cincin pemberian Shanum yang masih ku jaga hingga sekarang. Memandang cincin itu, tiba-tiba saja aku jadi teringat masa-masa kecilku saat bersama Shanum.
"Abi, terus jadi super hero buat aku ya? Kalau aku sedih dan butuh pertolongan Abi harus terus ada buat Shanum"
"Abi janji sama Shanum, abi akan terus jaga Shanum sampai kita tumbuh dewasa"
"Shanum sayang Abi."
Shanum kecil pun memelukku dengan erat. Bagaimana ya rasanya dipeluk Shanum lagi? Ah pikiranku semakin kacau karena tak bisa bertemu dengan gadisku hari ini.
Sebenarnya, aku bisa menuju apartemennya hari ini juga. Namun rasanya tubuhku perlu istirahat sejenak. Jadi setelah dari rumah Shanum tadi, aku pulang dan check in di penginapanku. Aku menginap di Hotel Le Regent Montmarte. Tito yang memilihkannya karena harga sewa di hotel ini cukup miring dengan fasilitas yang lumayan memuaskan. Hotel ini dekat dengan stasiun Gare du Nord. Sekitar sebelas menit dengan berjalan kaki.
Biar aku deskripsikan sedikit bagaimana keadaan kamarku. Aku tinggal di kamar nomor tiga puluh dua. Warna furniture di dalamnya didominasi oleh warna biru, kuning, putih, dan cokelat. Kamarnya memiliki satu buah kasur king size, lemari, meja untuk menyimpan barang-barang, dan kamar mandi pribadi yang didominasi oleh warna putih dan biru. Setiap kamar di lantai atas memiliki balkon, begitu juga dengan kamarku. Ada balkon dilengkapi dengan satu kursi dan meja kecil yang bisa dipakai untuk bersantai. Menikmati ramainya kota Paris dan juga pemandangan indah dari bangunan Gereja Katolik Roma Sacré Cœur yang megah.
Aku menyimpan kembali secarik kertas kecil itu di dompet. Perutku keroncongan, di lantai dasar ada bar dan restoran. Aku keluar dari kamarku menuju restoran itu untuk mendapatkan makan malam. Hotel ini tidak banyak memiliki tamu. Bukannya tidak laku, tapi memang belum musim liburan. Keadaan bar dan restoran terlihat sepi jadinya. Hanya ada lelaki paruh baya yang menjadi koki beserta si asistennya yang bekerja. Aku duduk di meja bar. Pelayan itu mendekatiku, sepertinya ia berusia tak jauh sama sepertiku. Rambutnya ia biarkan gondrong. Badannya kerempeng namun ia sangat tinggi. Lebih tinggi beberapa sentimeter dariku.
"Hai Monsieur! Kau pengunjung yang baru datang tadi sore ya?" katanya menyapaku.
"Ya, betul. Masih adakah sesuatu yang bisa ku makan?"
"Tentu saja, tuan Roussell bisa menyiapkan steak dan kentang tumbuk untukmu." Katanya sambil menunjuk lelaki yang sedang fokus memasak di dapur.
"Ah perkenalkan, namaku Jullien."
"Ok Jullien, namaku Abi."
"Abi? Nama asia. Dari mana kau?"
"Indonesia."
"Indonesia? Ah aku tau itu. Negaramu terkenal dengan pantainya yang indah."
Aku berujar dalam hati, pasti yang ia maksud adalah bali. Karena ya, beberapa teman manca negara yang ku punya mengenal Indonesia itu adalah bagian dari Bali. Jadi Bali lebih terkenal daripada Indonesia.
"Tunggu sebentar, biar ku pesankan dulu pada tuan Roussell. Aku akan kembali dengan cepat." Katanya sambil berlalu meninggalkanku.
______
Kentang tumbuk dan steak buatan Tuan Roussell memang enak. Memiliki cita rasa sendiri yang menurutku unik. Entah lapar atau memang makanannya enak, piringku cepat sekali habis. Selama aku makan, Jullien menemaniku dengan obrolannya yang asyik. Ia menceritakan banyak hal, kecuali cerita pribadinya tentang mengapa ia bisa tinggal di sini dan bekerja di Le Regent Montmarte.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Romance"Kau seperti petrichor. Membawa ranai dalam cengkar. Bagai rinai hujan yang melepas dahaga tanah tandus" - Abinaya Basupati