SMA GARUDA
Matahari begitu terik siang ini membuat gadis yang sedang memantulkan bola basket, mengusap keringat yang mengucur dari pelipisnya. Gadis itu tidak sendirian, teman - teman sekelasnya pun sedang melakukan aktifitas yang sama dengannya. Tamara, teman yang dekat dengan gadis itu terus mengeluh.
"Freya, ini panas banget masa. Udahan ya mainnya?" Ucap Tamara.
"Aduh gue kan anak emas, masa iya harus panas panasan cuma buat bola basket." Lanjutnya.
Freya tetap fokus pada bolanya, dan Tamara tetap mengeluh dan menggerutu tak jelas.
"Freya ayo ke kelas sekarang, lo kenapa si jutek banget jadi cewek."
"Lo dengar gak si gue ngomong?!"
Freya memasukan bola itu ke -ring.
"Wah bolanya Masuk! Lo jago main basket, atau cuma kebetulan doang?"
Freya melangkahkan kakinya, meninggalkan lapangan itu. Tamara pun berdiri, dan segera menyusul Freya.
"Memang gila tuh anak, woy tungguin gue!"
Saat Freya menaiki anak tangga, ia mendengar bisikan dari salah satu kakak kelasnya.
"Eh itu kan pacarnya kapten basket sekolah kita" ucap satunya.
"Oh iya, Freya kelas X-2 IPA." jawab yang satunya lagi.
"Pada ngomongin lo tuh. Masih jam pelajaran juga, malah ghibahin anak orang." ucap Tamara.
"Gak usah ngurusin yang begituan." Jawab Freya, dan Tamara menganggukan kepalanya tanda mengerti.
***
"Freya pulang." ucapnya saat masuk ke rumah. Tapi ia kembali ingat kalau ia sendirian di rumah, ibunya bekerja di luar negeri.
Dengan perasaan kecewa, Freya membersihkan badannya dan menyiapkan makan malam. Ibu Freya bekerja di luar negeri, tepatnya di London sambil mencari ayah Freya yang hilang dua tahun yang lalu.
Freya dan ibunya pun tidak tahu kemana perginya, teman sekantor ayahnya hanya mengatakan ayah Freya hilang saat perjalanan pulang ke indonesia.
Menurutnya ini semua tidak masuk akal, karena ego-nya selalu gagal menyembunyikan kenyataan bahwa Freya merindukan sang ayah, bahwa dirinya membutuhkan pelukan sang ayah.
Ibu Freya hanya mengabari seminggu dua kali untuk memastikan bahwa anaknya baik baik saja. Ibu Freya—- Lisa tidak begitu khawatir, karena Freya akan di urus oleh paman dan bibinya. Ya meskipun paman juga bibinya datang di hari sabtu dan minggu saja untuk menemani hari libur Freya.
Lisa menetap di London, ia hanya pulang sekali dalam dua tahun ini. Sebenarnya, dirinya juga sudah lelah mencari keberadaan suaminya.
Semenjak duduk di bangku SMA, Freya sudah terbiasa hidup mandiri. Meskipun kadang lelah tapi ia tetap sabar dan menjalankan semuanya dengan usahanya sendiri. Karena ia juga harus menerima kenyataan jika suatu saat nanti dirinya benar benar sendiri tanpa sebuah tangan yang menggenggamnya erat ataupun sebuah bahu, tempat ia bersandar dan meluapkan semua perasaannya.
Freya membuka ponselnya.
Zalen R : Selamat malam cinta❤️
Me : Apa😐
Zalen R : Juteknya ih :)
Me : Siapa?
Zalen R : kamu lah😛
Me : *read*
Zalen R : orang sabar disayang pacar 😀 jangan jutek terus dong sama pacar juga :"
Me : oke
Freya memasak mie instan setelah matang, lalu ia melahapnya dengan cepat. Di dalam kamar Freya harus bergulat dengan soal soal fisika yang membuatnya kesal."Kenapa gue di takdirkan masuk kelas IPA!"
Sebenarnya Freya dulu mendaftar di jurusan IPS. Tetapi ketika ia mencari namanya di daftar kelas, Freya terkejut karena ia masuk ke kelas IPA. Dirinya tidak tahu, bingung apakah ini rencana Tuhan atau sebuah kutukan.
Akhirnya dengan terpaksa Freya masuk ke jurusan IPA. Gurunya yang ia kira bisa membantu malah hanya bisa mengangkat bahu. Dua bulan berlalu, saat Freya mengikuti ekstra basket ia bertemu dengan Zalen Ravindra. Seorang cowok berkulit putih, tinggi, dan mempunyai banyak penggemar karena ia merupakan kapten basket di SMA Garuda.
Sama - sama menyukai olahraga basket, mereka pun semakin dekat, bukan hanya sekadar teman. Zalen menyatakan perasaanya, lewat pertandingan basket dengan Freya.
"Lo mau gak tanding lawan gue?"
"Oke kak."
Beberapa angka tercetak untuk keberhasilan Freya melawan Zalen.
"Oke gue akui, lo menang." ucap Zalen yang nafasnya masih terengah -engah.
"Itu artinya lo juga berhasil menangin hati gue, Freya lo mau jadi pacar gue?"
Freya terkejut, ia benar benar tak bisa menebak sikap kakak kelasnya ini.
"Kalau lo diam, artinya mau."
"Tapi aku mau ngejawab kak."
"Gue gak mau dengar penolakan."
"Siapa juga yang nolak." jawab Freya santai.
Zalen terkejut dengan sikap adik kelasnya ini. Gadis jutek, jago basket, mahal senyum, yang mungkin akan membuat orang yang berinteraksi dengan Freya, sedikit merasa kesal. Justru itu yang Zalen inginkan, Zalen mencintai semua perbedaan yang ada dalam diri Freya, sampai kadang - kadang ia tersenyum sendiri karena sikap Freya yang menurutnya manis.
Zalen bukanlah cowok humoris bukan lagi romantis, bagi Freya Zalen adalah cowok yang bisa berubah menjadi romantis dan humoris dalam satu waktu, menarik di mata Freya.
Tapi Freya takut jika Zalen bukanlah sosok itu lagi, dan hobi mereka tidak sama lagi. Apakah itu waktunya untuk berpisah, atau memperbaiki?

KAMU SEDANG MEMBACA
Senior or Junior
Novela JuvenilUntuk apa tersenyum, jika aku bukan alasannya lagi. Untuk apa bertemu, jika pertemuan ini tidak membahagiakan tapi justru membuat hati yang telah tertutup, terbuka kembali. Lelah Aku lelah terus bertemu denganmu, menatap matamu. Karena setiap mat...