"Eh? Itu kan--"
Langkahnya terhenti. Nara benar-benar terkejut saat melihat seorang lelaki dengan perawakan yang terpaut tidak terlalu tinggi darinya. Lelaki itu terlihat kebingungan, mondar-mandir tak jelas di depan gerbang rumahnya.
Perlahan Nara melangkahkan kakinya dengan pelan. Semakin mendekat, untuk memastikan bahwa penglihatannya tidaklah salah.
"Sakti?" Nara mencoba menyebut namanya untuk meyakinkan. Dia semakin mendekati lagi keberadaan lelaki yang tengah bermondar-mandir itu hingga mereka berposisi berhadapan.
Sakti yang merasa terpanggil pun menoleh. Matanya dia kedipkan sejenak. Seperti maling yang tertangkap basah. Dia terlihat sangat gugup ketika jarak Nara tiba-tiba saja semakin terpaut dekat.
"Kamu ngapain disini?" tanya Nara heran sembari mengernyitkan keningnya.
Sakti menggaruk kepalanya salah tingkah, "Anu-- aku-- eh maksudnya, gue mau minta-"
Nara menyipitkan mata bulatnya, "Minta? Minta apa? Minta sumbangan?"
Sakti menggeleng cepat, "Eh? Bukan-bukan! Ak-- gue cuma mau minta maaf sama l-lo," ucap Sakti pelan, hampir tak terdengar.
Nara tertawa sumbang, "Maaf? Lebaran masih lama kali."
Sakti menyengir kikuk, "I-iya. Lebaran masih lama ya? Bulan puasa juga belum kelewat. Eh, tapi sorry gue pulang dulu ya, ada urusan mendadak!" Sakti melambaikan tangan sekejap, kemudian memasang helm full facenya hingga menutupi raut wajahnya yang saat ini benar-benar terlihat gugup.
Dia segera melenggang pergi menaiki motor matic dengan polet merahnya dan melaju tanpa menghiraukan Nara yang kebingungan di tempat.
"Dia kenapa sih? Aneh banget."
Nara pun bergegas memasuki gerbang rumahnya. Setelah membuka kunci pintu dia segera menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.
"Sakti kenapa ya tadi tiba-tiba kesini? Apa mungkin dia lagi kangen sama gue? Terus tadi Sakti kedengarannya minta maaf. Apa dia mau ngajak gue balikan? Ahh Sakti, kenapa sih lo selalu muncul mulu di pikiran gue?!" gerutu Nara setelah meneguk segelas air putihnya hingga tandas.
Hatinya menghangat mengingat Sakti kembali mendatangi rumahnya. Pasalnya, ini pertama kalinya percakapan yang terjadi diantara mereka setelah putus malam Rabu kemarin. Walaupun ada sedikit kekecewaan dari relung hatinya, perihal Sakti yang telah mengubah gaya panggilannya menjadi lo-gue, padahal dulu selalu menggunakan aku-kamu.
Andai saja Nara dan Sakti masih bersama, mungkin saat ini mereka bisa menghabiskan waktu berdua. Andai saja--- ah sudahlah, Nara! Tak perlu berandai-andai. Hubungan kalian sudah resmi berakhir. Meninggalkan jejak kisah romantis klasik untuk di kenang.
Nara segera mengganti seragam sekolahnya. Dia memakai kaos berlengan pendek dan boxer selututnya. Pakaian khas anak rumahan. Lalu dia membaringkan tubuh di kasur empuk kesayangannya. Tangan mungilnya menyambar ponsel yang berada tepat di samping kanannya.
Bagaimana bisa aku menjadikanmu harapanku ketika kamu sudah menendangku jauh-jauh dari daftar sesuatu yang akan kamu pertahankan?
Dia tersenyum miris ketika membaca sebuah postingan yang lewat di akun Instagram-nya. Tepat sasaran sekali dengan apa yang dia rasakan. Merasa benar-benar seperti perempuan bodoh. Sudah jelas Sakti sudah tidak menginginkannya, tetapi perasaan tak tahu dirinya ini tetap saja bersarang di hatinya.
Air bening dari sudut matanya kembali mengalir membentuk genangan sungai kecil di pipi bulatnya. Entah sudah berapa kali dia mengatakan kalimat yang tak sadar keluar dari mulutnya.
"Sakti, gue kangen banget sama lo."
Tangan mungilnya mengusap pipi bulatnya pelan. Menghapus genangan air mata yang sudah mengalir tanpa sadar.
"Gue kangen perhatian lo. Gue kangen senyuman lo. Gue kangen bercanda bareng sama lo. Gue benaran kangen sama kita yang dulu. Gue kangen semuanya."
Tangisnya kembali pecah hingga terdengar isakan demi isakan yang memilukan. Berbagai kenangan terputar jelas di memorinya. Manis maupun pahit. Jika tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik dia tidak pernah menjalani hubungan dengan Sakti. Sungguh, ini lebih sakit dari saat Nara mencintai Aldad yang tak membalas cintanya, dulu.
Karena kelelahan menangis, membuat kedua matanya terasa berat. Nara tertidur dengan air mata yang perlahan mengering tertiup angin.
***
"Gue sebenarnya kangen banget sama lo, Na."
Sakti mengamati foto kebersamaan antara dia dengan mantan kekasihnya itu. Tangannya terulur mengambil sebuah gambar doodle yang terdapat pada selembar kertas putih. Gambarnya masih terlihat kurang bagus jika untuk dinilai.
Flashback on
"Wah ini apaan, Na?" tanya Vita mengambil sebuah kertas yang terdapat dalam ransel ungu milik teman sebangkunya itu.
"Eh itu-- aduhhh siniin Vit! Malu tahu gambarnya masih jelek."
Vita segera menghampiri Sakti yang terlihat sedang bercanda dengan Rezi.
"S A K T I. 24 September. Uuuu so sweet banget sih. Sakti, liat deh gue bawa gambar bagus banget dari sang pujaan hati lo. Simpan baik-baik ya."
"Vita lo tuh ya! Malu-maluin banget ishhh nyebelin!"
"Gakpapa kali, Na. Siapa tahu nantinya bisa jadi kenang-kenangan."
"Tahu ah! Sahabat macam apa sih lo? Gue kan malu, tai dasar lo!"
Sakti kembali melihat gambar yang baru saja diberikan Vita. Disana tertera nama dan tanggal kebahagiaan mereka yang di kelilingi doodle lucu walaupun terlihat sederhana.
Kekasihnya itu memang sedikit alay. Tapi dia tetap menyimpan dan memasukkannya ke dalam tas tanda menghargainya.
Rezi bangkit dari duduknya. Setelah berdecak karena melihat Sakti yang tersenyum tak jelas. "Sak, keluar yuk. Bosan gue dari tadi di kelas mulu anjir."
"Yooo!" Seru Sakti menyetujui, dia mulai bangkit menyusuli Rezi.
Mereka berjalan keluar kelas. Hingga saat di depan gerbang yang memisahkan kelas 11 IPS 1 dan 11 IPS 2 mereka bertemu dengan Nara dan Vita si kembar tak seiras.
"Makasih ya, gambarnya bagus banget. Aku suka," ucap Sakti dengan senyum manisnya seraya mengusap puncak kepala Nara.
Sedangkan Nara hanya tersenyum malu dengan pipi yang menimbulkan semburat merah. Dia pergi begitu saja berniat menyembunyikan rasa malunya di ikuti Vita yang berjalan menyusul di belakangnya.
Flashback off
Sakti tersenyum kembali menatap gambar doodle bertuliskan SAKTI yang telah di berikan oleh orang yang pernah mengisi kekosongan di dalam hidupnya itu.
Mengingat betapa bahagianya dulu ketika dia memiliki gadis itu. Tanpa sadar, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman kerinduan. Senyum malu-malunya. Sikap manjanya. Kebawelannya. Dia merindukan itu semua dari sosok Nara Almeera.
"Kenapa sih kok gue jadi mikirin dia gini? Move on dong Sak, move on! Aneh banget. Lo yang mutusin tapi lo yang galau-galauan kayak gini!" Sakti menggerutu kesal dengan apa yang baru saja di pikirkannya.
Dia memijat pelipisnya dan mengusap wajah secara kasar dengan telapak tangannya, "Pokoknya mulai besok gue harus benar-benar lupa sama Nara! Harus! Tujuan gue kan pengen bebas bukan ngerasa kayak ada beban gini!"
Sakti meremas kertas bergambar doodle pemberian mantan kekasihnya itu dan melemparkannya ke sembarang arah. Padahal sebelumnya dia menjaganya dengan sangat baik tanpa robek sedikit pun.
Dia kembali meraih ponselnya yang tergeletak di kasur dengan gambar Barcelona, club bola favoritnya. Dia membuka ikon galeri. Disana masih menampilkan foto kenangan antara dia dengan Nara dulu. Menatapnya sebentar, lantas jari telunjuknya menekan tombol hapus tanpa ragu. Pikirannya kacau. Dia memejamkan matanya. Berusaha rileks. Tapi tetap saja, wajah Nara yang tengah tersenyum manis memenuhi penglihatannya kala dia memejamkan mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Will You Comeback? ✓ [SUDAH TERBIT]
Roman pour AdolescentsNara tetap berdiam di tempat yang sama. Tetap mencintai Sakti dengan sangat. Tetap setia menunggu Sakti kembali menjadi pelengkap hidupnya. Tapi bagaimana dengan Sakti? Masihkah dia ingin sendiri?