Gadis dengan rambut tergerai indah itu melamun memperhatikan lelaki yang duduk menempati kursi di urutan pertama dekat tembok yang sejajar dengan pintu masuk. Lelaki yang sampai saat ini masih tersimpan di hatinya.
Bagaimana bisa dia melupakannya? Sedangkan setiap harinya mereka berada di ruangan yang sama. Bertemu setiap hari hingga menyebabkan kebosanan sekaligus kebahagiaan baginya.
"Na, lo kenapa sih?" tanya teman sebangkunya membuyarkan lamunan yang sedari tadi menguasai pikirannya.
Nara menoleh. Tersenyum dengan sedikit di paksakan seraya menggeleng pelan, "I'm fine."
Sahabatnya itu menggeram gemas. "Kita sahabatan bukan sehari dua hari kali. Salah banget kalau lo bohongin gue pakai senyum yang di buat-buat gitu. Gue tahu lo lagi gak baik-baik aja, Nara Almeera."
Masih ingat dengan Vita Ginosa? Dia memang sahabat Nara yang paling mengerti. Bagaimana pun situasinya, dia akan tetap setia menjadi orang yang selalu berada di sampingnya. Dia akan tetap bersamanya ketika seribu satu teman menjauhinya. Bagi Nara, Vita adalah salah satu daftar dari list penyebab kebahagiaannya. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi Nara juga sudah menganggap Vita sebagai saudaranya sendiri.
Mereka bagai prangko yang sulit di pisahkan. Dimana ada Nara, pasti ada Vita. Begitu pun sebaliknya.
"Enggak kok, Vit. Gue benaran baik-baik aja. Lo lihat sendiri kan badan gue sehat gini. Udah lah gak usah aneh-aneh. Orang gue baik-baik aja juga," elak Nara sewot.
"Iya sih badan lo sehat. Tapi hati lo? Gue tahu banget kali rasanya habis putus cinta itu gimana. Lihat tuh, muka lo juga udah mirip zombi tahu gak!" seru Vita mengeluarkan jurus mengomelnya walaupun hanya di balas hembusan nafas panjang oleh Nara.
Hingga bu Laras, sang wali kelas yang kebetulan mengajar pelajaran Matematika mulai memasuki kelas 12 IPS 1, kelas yang sering di pandang sebelah mata. Kelas yang selalu membuat keributan, namun mempunyai kesolidaritasan yang sangat tinggi.
Selama jam pelajaran hari ini Nara tidak fokus memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Dia terus saja memperhatikan pria yang selalu saja memenuhi pikirannya.
Dia, Sakti Pranaja. Pria yang beberapa hari kemarin memutuskan hubungan dengannya. Singkat saja, hanya melalui pesan singkat lewat ponsel di malam Rabu kemarin. Dia yang memulai, dia pun yang mengakhiri. Terkadang lelaki memang seegois itu.
***
"Sak, lo yang benar dong mainnya! Fokus Sak, fokus! Lo kenapa sih mendadak kacau gini?!" bentak Rezi dengan penuh emosi setelah ekstra kurikuler futsal pada hari ini berakhir.
Sedangkan Sakti yang mendengarnya terlihat acuh dan bergegas untuk mengambil botol minum yang berada di dalam tas punggungnya.
"Lo lagi ada masalah?" tanya Rezi, keningnya berkerut bersamaan dengan mata yang menyipit.
"Hah? Enggak. Masalah apaan coba!" jawab Sakti sewot sembari membuka tutup botol dan meneguk cairan bening di dalamnya hingga tersisa setengahnya.
"Ya terus kenapa? Dari tadi gue perhatiin lo tuh futsal gak fokus. Banyak melamun. Mikirin apaan sih? Pasti Nara lagi kan yang ada di pikiran lo?"
Uhuk
Seketika Sakti tersedak mendengar nama mantan kekasihnya disebut. Sangat tepat sasaran sekali perkataan dari teman seperjuangannya itu.
"Gue udah putus sama Nara," ucap Sakti dengan suara yang mengecil, tangannya kembali menutup tutup botol dan segera menyimpan tepat di samping kanannya.
"Hah? Serius lo? Putus cinta sampai segitunya, main futsal gak fokus, lebih kayak orang bego tahu gak? Masa putus cinta aja lo jadi kayak gini, dasar lemah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Will You Comeback? ✓ [SUDAH TERBIT]
Teen FictionNara tetap berdiam di tempat yang sama. Tetap mencintai Sakti dengan sangat. Tetap setia menunggu Sakti kembali menjadi pelengkap hidupnya. Tapi bagaimana dengan Sakti? Masihkah dia ingin sendiri?