#16

8 1 0
                                    

"Jangan ingatkan aku, bahwa aku memiliki keluarga. Karna yang aku tahu, aku tak memiliki keluarga kecuali para sahabatku"
ICA PRISILIA


Setelah itu, Ica melangkahkan kakinya menuju rumah itu. Rumah yang dulu nyaman baginya. Namun kini, rumah itu tidak layak ia anggap sebagai tempatnya untuk pulang. Karena menginjakkan kaki di rumah itu, sangat lah menyakitkan baginya. Tanpa kesalahan, selalu saja dia yang disalahkan.

Ica menghela nafas kasar, apakah di dunia ini masih ada orang yang bisa dia anggap sebagai keluarga? Ataukah semua sama saja?

Dengan langkah yang berat Ica akhirnya melangkahkan kakinya.

Ceklek

Dibukanya pintu itu. Satu hal yang dapat ia simpulkan orang orang sudah pada tidur, karena semua lampu sudah padam kecuali lampu kamar. Memang lampu itu tak pernah padam jika sudah malam hari.
Tap
Tap

Masih dua langkah ia berjalan, semua lampu yang semula padam kini menyala. Pertanda orang rumah ada yang terbangun.

"Masih ingat pulang lo?" Tanya cowo itu dengan sinis.

Ica hanya diam dan terus melangkah tanpa memperdulikan nya. Toh jika diperdulikan maka masalahnya akan semakin besar.

"Heh..
Lo kira ini rumah kamar penginapan buat lo?
Dari mana aja lo?" Ucap gadis yang tiba tiba sudah berdiri disamping cowo tadi.

Mereka berdua adalah saudara Ica. Yang cowo tadi bernama Angga Pramudya. Sedangkan si cewe tadi bernama Anggun Patricia. Mereka bukan kembar. Tapi usia nya hanya berpaut satu tahun saja.

Ica hanya mengela nafas. Selalu saja begitu. Kenapa setiap ia yang lama pulang ke rumah ini,kata kata itu selalu ada. Tak pernah hilang. Tapi, jika dibandingkan dengan para saudaranya, jangan kan dimarahi, yang ada anggota keluarga ini akan sangat khawatir jika salah satu dari mereka terlambat pulang. Namun sial,itu tidak berlaku padanya.

Ica tetap melangkah kan kakinya ke arah tangga. Karna kamarnya berada di lantai dua.

"Dapet dari mana tu boneka?
Lo nyolong yah?
Dapat duit darimana coba?

Ooh
Atau lo morotin om-om diluaran sana supaya lo dapet itu boneka.
Tuh boneka kan harganya ga nanggung nanggung.
Mana mampu lo beli itu"ucap gadis tadi dengan seyum meremehkan dan menghadiahi Ica dengan tatapan sinis.

Sakit. Yah, dikatakan seperti itu rasanya sangat sakit. Mengapa harus aku? Batin Ica. Kini, dia sudah mulai lelah dengan ini semua. Entah berawal darimana namun kini semuanya berubah tak seperti dulu lagi. Yang diisi dengan tawa bersama.

Ica hanya menghela nafas pelan, ia tidak mau menanggapi saudaranya itu karna ia tahu, jika ia menanggapi maka masalah besar akan datang padanya. Ica terus berjalan dan melewati mereka. Dan ia hanya berharap dua orang itu segera memberhentikan perdebatan ini. Karna ia takut orangtua nya akan memarahinya.
Oh, apakah mereka pantas disebut sebagai orang tua. Ica tertunduk memikirkan hal tersebut dan tersenyum kecut.

Tiba tiba, pintu itu  terbuka tepat saat Ica sudah melewati kedua saudaranya yang tersenyum sinis dan tepat berada di depan pintu itu. Pintu kamar yang sangat ia harapkan tidak terbuka. Namun, sepertinya saat ini adalah saat tersial baginya. Setelah menghabiskan waktu bersama Surya, ia terkena sial. Ica langsung memberhentikan langkah nya dengan jantung yang sudah memompa lebih cepat dari biasanya. Ditambah kekhawatiran nya terhadap nasib nya beberapa jam kedepan.

Ceklek...

Jantung Ica semakin tak beraturan, ditambah dengan tatapan yang ia dapat dari orang di depannya.

Dia Atau DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang