17. Pelukan (ter)hangat

1.4K 191 1
                                    

Akhir pekanku seperti biasa diisi bersama bang John. Aku sedang menunggunya di cafe tempat kita janjian.

Aku duduk di bangku balkon lantai 2 yang mengarah ke pelataran dan jalanan di depan cafe. Kesendirian memaksaku untuk menunduk memainkan ponselku hingga tak kusangka hari ini aku tanpa sadar mengenakan hoodie, jam tangan dan sepatu pemberian bang John. Entah mengapa semua pemberiannya sangat nyaman aku pakai, terutama jam tangan silver dan sepatu kets biru dongker ini, mereka telah melewati banyak kenangan.

Tepat saat aku mengangkat wajahku, motor besarnya memasuki pelataran. Senyum langsung terkembang begitu melihatnya berjalan ke arahku. Ia sedikit mengacak rambutnya sebelum duduk di depanku dengan sedikit gelisah, "kok kamu selalu dateng duluan sih?"

"Aku kan on-time." ucapku bangga.

Ia mendecih lalu berbisik pelan, "harusnya aku yang nunggu kamu, mau taruh mana harga diriku?"

Aku menilik jam tanganku padahal ia datang tepat di waktu yang kita janjikan, hanya aku saja yang datang lebih cepat.

"Bang John nggak telat kok." ujarku menenangkannya.

Ia tersenyum teduh, kontras dengan kilatan matanya yang tampak redup tak seperti biasanya.

"Dari mana tadi?"

Ia sedikit menghindari tatapanku, "dari rumah."

Aku mengendikkan bahu singkat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengendikkan bahu singkat. Walaupun terasa ada sesuatu yang ia tutupi tapi aku membiarkannya dengan harapan bahwa nanti pada akhirnya ia akan bicara tentang apapun itu.

Pesanan kami datang, aku dengan kopi susu manis dan ia dengan segelas minuman hitam pekat kesukaannya.

Seolah bisa membaca pikiranku bang John berkata "tahu nggak? Minuman yang biasa kita minum itu bisa menunjukkan kepribadian."

"Gimana?" tanyaku antusias.

"Pejantan tangguh minumnya kopi pahit" ia menunjuk gelasnya bangga, sedangkan aku menahan tawa.

"Itu sih cocoklogi."

"Kamu suka latte extra sugar... kenapa?" tanyanya, sebelum aku jawab ia kembali melanjutkan, "kamu belum terbiasa sama rasa pahit atau karena kamu mau sengaja lari dari rasa pahit?"

Ia menatapku dalam-dalam, seolah topik yang ia bicarakan ini sangat serius. Aku berpikir sejenak, tak menyangka bahwa pertanyaan sederhananya ternyata bisa serumit itu di kepalaku.

"Kopi itu ibarat manis pahit kehidupan. Jadi ibaratnya kamu tahu hidupmu pahit tapi kamu milih buat lari dari kenyataan." jelasnya.

Aku tahu dengan pasti kalau itu terdengar seperti bualan tapi itu tak sepenuhnya salah karena akupun menyadari betapa seringnya aku ingin menghilang dari muka bumi ini ketika dirundung masalah.

LIMITLESS | Johnny Suh [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang