Breath | 12

185 30 1
                                    

Putih. Di sana sini yang dapat ditemui cuma putih, lalu putih, kemudian putih lagi. Mencocok mata; menyilaukan netra, baik kanan maupun kiri hanya ada binar mentari. Jimin tidak temukan hitam, abu-abu, merah, atau warna lain selain putih. Jimin pikir, barangkali dia sudah duduk di pangkuan Tuhan sekarang ini. Jadi secara tidak sadar hanya temukan selempang putih sutra khas surga daripada lihat pernak-pernik berbau dunia seperti uang dan lainnya.

Kaki Jimin polos, dia tidak kenakan semacam sandal atau sepatu. Jari-jari Jimin bergerak memastikan diri. Masih berfungsi, Jimin bisa bernapas lega lagi. Tunggu, apa Jimin dapat menganjur napas? Tentu, Jimin bisa. Dia bangkit dari posisi duduk yang entah bersandar pada apa. Menelan satu-dua langkah pada pijakan abstrak, Jimin selalu pasang wajah waspada agar tidak tersesat dan tetap selamat. Jimin tengok bagian serambi kanan, temukan sederet rumah-rumah sederhana dengan warna putih pula. Kroma genting mengkilap berseri di terpa sinar yang datangnya dari atas kepala, padahal warna genting itu cuma cokelat pudar. Oh, Jimin baru sadar, dia bisa temukan warna selain putih di sini.

Jimin rasakan dadanya bergemuruh dahsyat tatkala sepasang tungkai sudah hentikan langkah tepat di sentral tempat serba putih yang tak dia ketahui apa namanya. Berkeliling, berporos pada satu posisi tapi tetap jelajahi panorama lewat okular pribadi yang menyala-nyala penuh keingintahuan sejak tadi.

Hingga pada debar jantung yang kesekian, salah satu pundak Jimin dijatuhi sesuatu. Jimin tidak berjengit, tidak tahu kenapa reaksi yang harusnya terjadi tiap dikejutkan seperti tadi tidak keluar saat ini. Bola mata Jimin juga tidak membeliak tatkala dapati seseorang berdiri di belakangnya dengan memakai pakaian putih bersih tanpa sebuah noktah atau noda kopi. Jimin hanya ulas senyum tipis, seakan menyambut orang yang baru saja memutar arah tubuhnya.

Jimin tidak bisa mengendalikan pikiran sendiri, dia lupa bagaimana cara untuk mengajak seluruh anggota tubuhnya menuruti perintah otoriter dari si serebrum. Ketika banyak tanda tanya yang berenang bebas di atas kepala dengan pandangan mengejek, di saat itu pula Jimin tidak ingat sistem kerja otak yang benar itu seperti apa.

"Bertahanlah, semua akan baik-baik saja. Tetaplah berhati-hati, Jim."

Kelopak Jimin terbuka seiring detak jantungnya yang semakin berpacu cepat seakan dia baru saja melakukan pembukaan acara lari maraton. Tiga bulir keringat seukuran biji jagung turun dari dahi menuju pelipis, lalu merambat sampai ke tiap epidermis leher. Iris mata Jimin ditikam cahaya dari lampu kamar, dia lekas menghalangi rambatan cahaya tersebut dengan telapak tangan.

Pelupuk Jimin kontan menyipit tatkala telapak tangan dia turunkan dari awang-awang. Jimin observasi keadaan di sekitar. Langit-langit kamar, dinding bersih kecokelatan di hadapan, di atas nakas masih terdapat pigura foto yang kacanya sudah retak-retak. Jimin embuskan napas lega dengan sentuh permukaan dada.

"Tadi itu mimpi ... apa?" Dia menghadap ke arah kiri, berusaha mengingat sepotong delusi alami yang sempat terjadi. Namun sampai tiga menit berselang pun, dia tidak dapat gapai apa-apa dalam kotak ingatan. Kosong, dia seolah baru saja melepas sesuatu yang krusial.

Jimin tengok jam dinding. Temukan pukul dua dini hari di kedua mata membuat dia sedikit mendengus. "Kalau aku kembali tidur, rasanya akan aneh nanti dan tentu saja aku akan terbangun siang hari. Jadi sekalian saja tidak usah tidur," putus Jimin seraya menurunkan kaki dari atas ranjang.

Melangkah perlahan ke arah lemari, menggeser salah satu pintunya sebelum ambil kardus besar dari strata kedua. Dia tutup kembali pintu lemari, lalu berbalik untuk arahkan langkah tujuan pada meja belajar.

[✓] BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang