Tak sedikit orang yang bilang diam-diam di belakang bahu mereka tentang kedekatan antara dia dan Rosé di depan umum begini tampak manis dan romantis. Jimin sampai harus mengerutkan kening berkali-kali ketika suara jeritan tertahan tiba-tiba terdengar mengetuk dua rungunya sayup-sayup. Barangkali keputusannya yang bulat seperti jam dinding itu patut disesali, sebab dia sekarang malah merasa bersalah pada Rosé yang sejak tadi tampak duduk dengan tak nyaman di kursi.
Jimin dilahirkan sebagai pria yang punya derajat kepekaan terhadap sekitar melampaui pria-pria lain. Dia tahu kalau perasaan Rosé sedang tidak terlalu baik hari ini. Tangan kanan yang sempat bersemayam nyaman di dalam saku jaket denim dia keluarkan untuk beralih genggam tangan Rosé yang tertidur di atas meja.
"Kalau kau tidak nyaman, kita bisa pindah." Jimin tatap Rosé benar-benar.
Senyum manis Rosé jadi jawaban bahwa perempuan cantik itu baik-baik saja berada di keramaian begini. "Aku sudah bilang padamu dan Tae tentang ini; aku tidak akan pernah merasa terganggu atau kesepian di tengah keramaian bila kita selalu berdampingan."
Jimin menggigit bibir khawatir. Kendati Rosé berusaha keras untuk meyakinkannya perihal keramaian memekakkan telinga yang pernah membuat Rosé tenggelam sendirian di lautan manusia, Jimin tetap saja berwalang hati. Daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, akan jauh lebih bagus jika dia segera menelepon Tae agar ikut bergabung berkumpul di taman kota.
Pada dering ketiga telepon Jimin, vokal elusif berat khas Tae sudah menyambutnya malas-malasan.
"Ya?"
Jimin berdecak sebentar. Menarik tangan dari punggung tangan Rosé, lalu membelamkannya kembali pada saku jaket. Jimin menyahut dongkol, "Setidaknya beri aku sapaan selamat sore dahulu, Tae."
"Apa itu perlu, Jimin Jelek?"
"Kau lupa berkaca atau bagaimana?" cecar Jimin, "ah, sudahlah. Cepat kemari, kasihan Rosé. Lokasinya akan segera aku—"
"Tidak bisa, Jim."
Bola mata Jimin berputar diiringi embusan napas kasar. Bahu yang dia sandarkan pada punggung kursi lantas menegak. "Kenapa? Kau sedang makan?" Cuma alasan itu yang selalu Tae punya tatkala hendak menolak ajakan-ajakan. Ya, karena memang pekerjaan Tae hanya menghabiskan makanan saja.
Sampai pada detik-detik yang berjalan tertatih tanpa bantuan kursi roda, Jimin belum dapat jawaban apa-apa dari seberang. Taehyung seakan sengaja memberi jeda untuk mengerjainya. Atau memang lelaki itu sedang berusaha mengorek setumpuk sampah alasan agar dapat menolak permintaan tadi dengan dalih yang tepat.
Deham pelan dari pihak Taehyung sukses membuat Jimin sedikit menjauhi telepon sebentar. Hingga susulan suara Taehyung terdengar lagi.
"Aku sudah ada janji dengan calon kekasihku. Kalian berdua memangnya tega melihatku sendirian terus?"
"Kukira kau akan mengencani Rosé," kelakar Jimin dengan sesekali melirik Rosé melalui ekor mata.
Taehyung terbatuk-batuk di seberang sana. Lantas Taehyung menyahut jengkel, "Seleraku bukan seperti Rosé. Lagi pula, jika aku nekat mendekati Rosé, belum apa-apa saja aku mungkin sudah dilempar sampai ke puncak Patung Liberti."
Jimin membalas Taehyung dengan gelak menggelegar dengan dua pipi berisi yang menyentuh kelopak mata bawahnya malu-malu.
Gelagat Jimin dicurigai Rosé. Perempuan itu buru-buru mengambil alih ponsel Jimin untuk dengarkan apa yang Tae hendak katakan lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] BREATH
غموض / إثارةTERBIT Baru-baru ini Jimin selalu mendapati kejanggalan ketika setiap kali lampu rumah mengalami korsleting. Mulai dari ditemukannya surat kaleng dengan tulisan acak-acakan sampai tergeletaknya sebuah kotak aneh berisi bunga baby breath. Jimin yang...