Breath | 17

251 28 8
                                    

Pelupuk mata Jimin menghitam. Tampak jelaga samar-samar tutupi tumpahan sinar matahari pagi yang mampir mencium lembut areal netra Jimin. Bukan menyembunyikan alasan mengapa mata Jimin jadi kelihatan berkantung, tetapi karena memang sudah jelas bahwa Jimin semalam tidak bisa tidur—lantas bukankah percuma kalau dijelaskan lebih rinci lagi? Tentu saja, percuma. Layaknya Jimin yang ingin mengeruk validitas dari seluruh terka.

Jimin memastikan lagi apakah kemarin malam selepas mengantar Rosé ke mobil jemputan dia benar-benar memergoki Jaehyun berada di tiang listrik samping rumah, atau itu hanya sebuah delusi karena kesadarannya masih belum terisi penuh.

"Terkadang, aku lelah terus menebak-nebak tanpa tahu jawabannya." Jimin tertawa sumbang. Kepalanya ditengadahkan menatap awang. "Aku tahu, semua teror ini punya satu tujuan yang pasti. Yakni membuatku mati. Lalu, kenapa sampai saat ini aku masih bersikukuh mencari tahu siapa yang melakukan semua ini?"

Jimin ingin sekali menyerah, pasrah pada apa-apa yang telah digariskan pada hidupnya. Jimin sangat-sangat ingin hidup tenang seperti sebelum-sebelum ini. Namun, keinginan itu hanya bisa bertumpuk, berserak laksana sampah dalam pintal-pintal serebrum Jimin. Semua praduga dan teka-teki yang dia susun tak berguna, sebab sampai detik di mana Jimin mengusap mata sehabis mengedip pun, tanda-tanda munculnya kebenaran masih Jimin anggap mustahil. Jimin kesulitan gapai semua itu gunakan jari-jarinya—kebenaran seakan menjauhi Jimin. Kematiannya, barangkali menjadi berita menggembirakan bagi dunia.

Jimin meletakkan kepala pada meja belajar yang kali ini syukur saja sudah kosong tanpa serakan gumpal-gumpal kertas koyak atau catatan-catatan kecil bekas hafalan.

"Mati, mati, mati." Jemari Jimin mengetuk permukaan meja berkali-kali hingga produksi melodi unik tersendiri. "Lebih baik mungkin langsung saja aku memotong nadi sendiri. Supaya tidak rumit begini. Lagi pula, tidak ada yang bisa aku percaya lagi. Rosé, Tae—semua. Semua orang bisa membunuhku diam-diam. Tidak bisa, tidak akan ada lagi orang yang dapat aku beri kepercayaan penuh."

Hati Jimin diremukkan, dipatah-patahkan sampai menjadi kepingan kecil. Dia kecewa dengan sangat-sangat-sangat-sangat. Dia tahu, ini sedikit berlebihan. Namun ketika seseorang telah melimpahkan kepercayaan penuh pada individu atau kelompok lain dan sayang sekali kepercayaan itu ditelan bulat-bulat tanpa cerna dahulu jutaan isi krusial di dalamnya, Jimin yakin bahwa siapa saja pasti akan sama kecewanya dengan dia. Pasti, tentu saja, pasti.

Jimin bangkit dari kursi. Tapaki lantai pelan-pelan, bisik lewat hati. Dia kalang kabut, cemas, resah, semua bercampur jadi satu. Jimin tidak tahu apa yang saat ini perlu dia lakukan. Dia ... apa dia harus menyerah?

Tidak, tentu saja tidak akan dengan mudah dia dapat menyerah begitu saja.

Jimin terlalu mengerti, bahwa mati dengan penyiksaan lebih dahulu jauh menyenangkan dibanding mati dibunuh begitu saja. Dia kelewat paham betapa busuk otak manusia yang merancang semua ini.

Dan Jimin juga tahu kalau dia akan mati dirangkul kelam malam atau lampu remang-remang sembari kesusahan mendikte napas sendiri.

Jimin berjalan gontai kikis distansi yang pisahkan antara posisinya dengan sang ibu.

"Bu, aku ke luar, ya?" Dia mengambil permukaan sofa kosong untuk diduduki sebelum meletakkan kepala dengan manja pada pundak sang ibu.

Heo Young membuang pandangan dari layar telivisi untuk segera arahkan dua netra menuju keberadaan Jimin. Ia tersenyum seraya memberi izin, "Iya. Boleh. Lagi pula, ini akhir pekan. Dan kau juga masih mendapatkan libur musim panas. Jadi, kenapa Ibu harus melarangmu?"

[✓] BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang