Terasnya masih sama, dengan bebatuan pengisi lantai yang akan sangat dingin begitu hujan tiba. Pohon seruni yang tumbuh di depannya pun tetap sama, tetap kokoh dengan daun hijau dan merahnya.Juga kamar itu. Kamar nomor sepuluh tempat kita merajut kisah setahun lalu, dia juga masih di situ. Lengkap dengan cerita kita yang dibekukan oleh waktu. Berharap ada tangan yang akan menyentuhnya lagi tapi jelas tidak akan sama seperti dulu.
Dan di sini ada satu lagi hal yang tidak akan berubah sekalipun aku sudah setengah mati mengutak-atiknya. Kamu. Tentang kamu di hatiku juga masih sama saja. Perasaan ini sudah terlalu bebal untuk diberitahu bahwa kamu sudah tiada. Perasaan ini menolak percaya bahwa yang tersisa di antara kita hanyalah rekam dari pesan-pesan lama. Hanyalah rindu yang tercetak sebatas huruf-huruf di layar kaca. Perasaan ini abai terhadap kata menyerah, sekalipun sosokmu entah di mana—tak terjamah, hilang di antah berantah.
Seperti setangkai mawar yang kulemparkan ke genangan air hujan hingga terlepas beberapa kelopaknya,
seperti itu juga aku telah berusaha melupakan, bahkan menghancurkan setiap kenangan kita sejadi-jadinya. Tapi pada akhirnya, lagi-lagi, tidak banyak yang berubah. Tanganku kembali memungut mawar itu dan menyelamatkannya. Hatiku sekali lagi memilih menjaga rasa untukmu saja, tidak tahu kenapa.Dan pemilik setiap larik di puisi ini pun tetap satu nama yang sama, kamu, entah sudah kali ke berapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phosphenous
Acak[ SUDAH TERBIT] Perkenalan adalah awal dari segalanya. Sebuah permulaan dari petualangan kata-kata, pemikiran, dan perasaan; yang beradu antar mulut, kepala, dan hati. Percikan jiwa dan sosok tubuh; Aku, kamu, dia, kita, mereka, semua, semesta. Jang...