Hari ini menjadi hari tersialku karena berurusan dengan seorang cewek mungil yang mampu menjinakanku. Tapi, ada perasaan aneh yang tersirat di kepalaku. Kenapa wajahnya itu kini terbayang-bayang membuatku tidak fokus memperhatikan guru yang lagi menerangkan sesuatu di kelas ini.
Sampai bel pulang berbunyi, aku langsung merapikan buku-bukuku, memasukannya ke dalam tas. Lalu berjalan mendekati kedua sahabatku.
“Bro, nanti malam ke kafe bang Ben, yuk?” ajakku kepada mereka untuk ikut. Karena hari ini rumahku pasti sepi, orang tuaku akan pulang larut seperti yang mereka bilang tadi pagi selepas sarapan. Mereka memang tergolong orang yang sibuk, aku hanya mencoba memahaminya asalkan ditinggalkan uang yang cukup untuk mengisi kehampaan tersebut.
“Ah–“
Belum selesai Gerry menuntaskan omongannya aku langsung memotong. “Gue bayarin tenang.” Lalu mereka berdua langsung memelukku, membuatku memberontak karena jijik.
“Gue sayang sama lo, RASYA! I LOVE YOU!” teriak Dimas sangat keras.
“Iya gue juga, I LOVE YOU RASYA!” kali ini Gerry ikut-ikutan. Aku pun yang sudah amat tidak menyukai kelakuan mereka langsung berlari meninggalkan mereka tapi sebelumnya sempat menjitak kedua kepala mereka dan berakhir dengan kejar-kejaran. Bagiku mereka berdua sangat menyenangkan, konyol, dan tentunya seru.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung mandi untuk kemudian rapi-rapi. Kelakuan terkonyolku adalah saat di kamar mandi bernyanyi tak jelas dengan suara yang keras. Seperti orang gila tapi menurutku begitulah salah satu hakekat kesenangan yang harus dilakukan setiap hari.
Sembari menunggu jam tujuh malam tiba, aku ingin menghabiskan waktu dengan menonton televisi di ruang tamu. Duduk santai sambil menikmati cemilan yang tak pernah habis. Karena keluargaku cukup dikatakan berada, jadi, mereka memang sengaja menyetok banyak cemilan kesukaanku.
Walaupun di rumah ini sebenarnya ada mbok Iyem wanita paruh baya yang setia bekerja di rumahku dan mang Sutis supir pribadi sekaligus mempunyai keahlian memotong rumput, tapi aku sedikit pun tidak ingin merepotkan banyak hal kepada mereka. Terkadang mereka malah kuanggap seperti nenek dan kakekku sendiri.
“Dhen, temannya tuh biasa teriak-teriak di depan.” Mbok Iyem mengadukan hal konyol Dimas dan Gerry yang dari sejak kelas satu sampai tiga SMA ini tidak pernah memungsikan bel yang ada di depan gerbangku itu. Aku pun hanya meminta mbok Iyem untuk tidak memedulikan mereka. Sebab nantinya juga mereka akan capek sendiri lalu masuk ke rumah ini tanpa menunggu tuan rumahnya membukakan pintu. Ya, seperti itulah mereka.
“Woi! Orang dipanggil-panggil bukannya keluar, bukain pintu kek, et,” gerutu Gerry yang menongolkan kepalanya dari balik pintu itu.
“Ger, biasa.” Dimas dengan mata mencurigakan memberi kode. Kemudian mereka berdua dengan serentak berlari ke arahku dari dua sisi yang berbeda, aku yang ingin menghindar akhirnya tertangkap juga. Mereka mengelitiki pinggangku—salah satu kelemahan yang tak kuasa aku tahan—sampai puas dan berhenti ketika aku berkata maaf.
“Yaudah nggak jadi gue bayarin dah.” Aku menakut-nakuti mereka agar melepaskan tanganku.
“Yaudah kita balik, gampang, bye,” ucap Dimas dengan singkat, pura-pura ngambek. Aku langsung melingkarkan tanganku ke bahu mereka berdua yang membuat diriku kembali diklitiki oleh mereka. Setelah benar-benar puas, baru aku dilepaskan kembali, dan langsung menuju ke kafe bang Ben yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek ini.
Aku mengendarai motorku sendiri, sedangkan Dimas memboncengi Gerry. Mereka juga kebetulan bersebelahan rumahnya hanya berbeda komplek denganku.
Sampai di dalam kafe bang Ben, suasana cukup ramai. Karena memang cukup terkenal kafe ini dengan suasananya yang nyaman, ditambah ada hiburannya berupa band-band yang disewa untuk menghibur para pelanggannya.
“Wih kaya nih bang Ben.” Gerry langsung menyeletuk seperti itu kepada bang Ben yang ada di kasir.
“Amin,” balas bang Ben dengan gerakan tangan orang setelah berdoa.
“Haha, yaudah pesan yang paling enak Bang. Biasa ada bosku mau bayarin nih.” Aku yang mendengar Dimas berbicara seperti itu hanya diam.
“Yoi, bang Ben. Nggak usah pikirin berapanya.” Dimas ikut-ikut. Sedang, bang Ben hanya langsung menyuruh pegawainya menyiapkan pesanannya.
“Emang brengsek nih orang berdua ya,” gerutuku. Tapi, mereka berdua malah meninggalkanku dan duduk di salah satu tempat yang kosong di sebelah pojok kafe ini. Aku mendekati mereka dan ikut duduk di sofa yang terasa empuk. Lalu tak lama seorang pegawainya membawakan pesanan kami.
“Eh, lo berdua mulai besok gue nggak ikutan lagi ya godain adik kelas. Pokoknya nggak bakal mau lagi gue, titik.” Karena terikat janji aku memperingatkan sahabatku ini untuk tidak mengajakku melakukan permainan yang sudah berlangsung sejak masih duduk di kelas dua itu.
“Dih, cemen lo,” seru Dimas melempariku kulit kacang. Gerry pun ikut melempariku.
“Jangan bilang gara-gara cewek tadi?” tanya Gerry menebak-nebak. “Apa lo jangan-jangan su–“ sebelum Gerry menuntaskan perkataannya. Aku langsung melingkarkan tanganku ke lehernya dan menjitak-jitak kepalanya.
Selagi bercanda dengan Gerry. Tiba-tiba Dimas mendekati kepalanya dan berbicara dengan serius. “Eh itu bukannya cewek yang tadi ngejar lo ya, Sya?”
“Mana, Dim?” tanyaku mencari-cari cewek yang dikatakan oleh Dimas. Lalu ia pun menunjukan tangannya ke arah cewek yang memakai sweater putih yang lagi berjalan ke arah kasir. Setelah memperhatikannya cewek itu pun menoreh sebentar menunjukan wajahnya. Dan benar saja itu cewek sangar yang mengejarku di sekolah.
“Woi, sweater putih! Dicariin Rasya!” spontan aku kaget mendengar teriakan Gerry yang keras malah berkata yang tidak-tidak. Mampus gue!
“Eh gila lo, Ger. Cari gara-gara aja kampret!” aku menjitak-jitak kepala Gerry dengan amat kesal. Tapi, untungnya cewek itu tidak menghampiri kami, hanya membuang muka dengan ekspresinya yang terlihat seram. Aku menghela nafas lega, tidak ada hal konyol lagi yang terjadi. Tapi kenapa cewek itu ke sini?
Komentarmu sangat berarti buatku ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sana Kita Temui Kebahagiaan
Genç Kurgu"Aku hanya ingin kau bahagia. Karena pada saat itu, aku pun akan ikut bahagia." Bercerita tentang seorang remaja yang begitu senang bermain bersama kedua sahabatnya. Namun, suatu kejadian yang memilukan terjadi kepada mereka, entah padahal mereka in...