"Gina," James memanggil kakaknya yang sedang duduk termenung di pinggir kolam berenang rumah keluarga mereka.
Sudah 1 bulan lamanya Regina tampak tak semangat. Berbanding terbalik dengan James yang sangat senang sudah kembali ke rumahnya dan menikmati fasilitas mewahnya lagi.
Tidak mendengar jawaban Regina, James menghampiri kakaknya. "Hei, kau ini kenapa?"
Regina masih tidak memedulikan adiknya. Ia hanya menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air sambil menatap air itu.
"Kau merindukannya, ya?" tebak James membuat Regina menghentikan gerakannya. Ia kemudian mendapat tatapan mematikan dari kakaknya itu.
"Jangan membawa-bawa pria itu. Jelas-jelas aku tidak menyukainya apalagi mencintainya!" protes Regina.
James tertawa mencemooh, "Gina, Gina. Siapa yang mengatakan kau mencintainya? Aku hanya menebak jika kau merindukannya. Tapi ternyata kau malah mengakui kau mencintainya."
Regina terdiam. Ia lalu berdiri dan mendorong adiknya ke kolam berenang itu. "Diamlah!"
---
Regina menggeram kecil selama ia melangkahkan kakinya ke taman kota yang terletak tidak jauh dari rumah mewah keluarganya.
Ia sangat tidak suka dengan perasaan yang ada di dalam hatinya ini. Entah perasaan apa itu, pokoknya Regina sangat merasa terganggu dengan kehadiran perasaan sialan itu.
Kedua orang tuanya selalu mengejeknya merindukan Europe yang sudah tidak memunculkan dirinya sebulan ini. Begitupun dengan James.
"Hah, yang benar saja aku merindukan pria menyebalkan itu!" gumam Regina pada dirinya sendiri. "Tidak mungkin juga aku mencintainya.. ya, kan?"
Di sela-sela jalannya, ia menabrak tubuh tinggi yang membuatnya limbung. Regina sudah bersiap untuk merasakan sakitnya jatuh ke aspal. Ia memejamkan matanya, menunggu rasa sakit itu. Tapi sepuluh detik itu tidak terjadi apa-apa.
Regina perlahan membuka matanya.
"R- Ray?"
Raymond, mantan kekasih Regina, tersenyum. Menyadari lengan kekar Raymond melingkar di pinggul wanita itu dan menahan bebannya agar tak terjatuh, Regina langsung berdiri dibantu dengan Raymond.
"Regina, aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini," Raymond tersenyum ramah sementara Regina tersenyum canggung.
"Kau mau ke mana?" tanya pria itu.
"Ke taman kota," balas Regina singkat, ingin cepat-cepat pergi dari mantan seharinya tersebut.
"Oh, rumahmu masih di sini? Bagaimana jika kita berbicara dulu sebentar?" ajak Raymond. Pria itu mengamit tangan Regina dan menuntunnya masuk ke sebuah kafe tanpa persetujuan Regina.
Keduanya duduk di pojok ruangan, tepat di sebelah jendela besar seukuran dinding. Di depan masing-masing terdapat beberapa potong kue dan 2 gelas kopi dingin.
"Jadi bagaimana kabarmu?" tanya Raymond setelah menyeruput kopinya.
"Baik."
Raymond tertawa, "Kau masih begitu galak rupanya. Omong-omong kau terlihat semakin cantik, Reggie. Apa kau sudah menjadi penulis lagu sekarang?"
"Ya, sejak aku lulus kuliah. Tapi sudah 1 tahun ini aku sedang berhenti. Kontrakku sudah habis dengan Sonya Production. Kontrak berikutnya akan dimulai bulan depan," jawab Regina.
Raymond terperangah. "Itu mungkin kalimat terpanjang yang pernah kau ucapkan padaku. Kita harus merayakan hal ini. Jadi aku yang akan mentraktirmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Stockholm Syndrome
Short Story#1 in penculikan, #3 in Exhusband, #4 in Stockholmsyndrome 21+ Sindrom Stockholm-pernah dengar? Sindrom yang satu ini adalah suatu keadaan di mana seorang sandera merasa nyaman atau setia pada penculiknya. Atau setidaknya, begitulah yang dijelaskan...