Azaleta 5 - Kisah Tentang Ahil (1)

822 58 20
                                    

"Iya, ini lagi di jalan, Mi. Aman, kok."

"Kamu nggak kabur, kan, Sayang?" Suara di seberang sana terdengar menginterupsi.

Azaleta memelotot tanpa bisa dicegah. "Masa Leta kabur sambil nyeker jalan kaki? Mami yang benar saja," protes perempuan berhijab biru muda tersebut.

"Oke, oke. Anggap Mami percaya sama kamu." Mami terkekeh di ujung telepon. "Masih lama jalannya?"

"Eng ... sebentar."

Azaleta sedikit ragu saat menepuk bahu Pak Rahmat ---supir mobil klien mereka kali ini--- yang tengah berkonsentrasi dengan jalanan di hadapannya. Masalahnya, di depan lagi macet, tapi Azaleta anggap itu masih dalam taraf aman. Setidaknya aman bagi supir yang bersangkutan.

"Iya, Neng?" Pak Rahmat lekas merespons saat merasakan sentuhan kecil di bahunya. Pria tambun setengah baya itu tersenyum ramah tanpa mengalihkan perhatian.

"Masih jauh, Pak?" tanya Azaleta. Gadis manis itu mencondongkan tubuhnya sedikit, berusaha menangkap maksud kalimat Pak Rahmat di tengah kekalutan yang melanda sekitarnya.

"Sudah dekat, Neng. Sebentar lagi juga sampai," jelas Pak Rahmat sambil memutar kemudi, mengarahkan mobil memasuki kompleks perumahan yang ---Azaleta tahu--- megah dan elit.

Meski sudah tiga kali melakukan liputan di tempat ini, baru kali ini perempuan penggila drama India itu merasakan getaran tak mengenakkan di sekitar lehernya. Rasa ada mistis-mistis bagaimana itu. Tanpa sadar, Azaleta menyentuh leher yang meremang dengan sendirinya.

"Sudah masuk ke Kompleks Eropa, Mi," terang Azaleta, menyebutkan satu nama familier bagi sebagian orang tentang kompleks perumahan ini.

Alasannya, sih, sederhana. Karena kebanyakan rumah di sini bergaya Eropa. Beberapa orang "luar" juga menetap di sini. Hijaber cantik itu beberapa kali melongok keluar jendela, tak bosan terpukau dengan keadaan di luar.

"Oh, sudah sampai. Sebentar lagi juga ketemu sama kliennya," ucap Mami dengan nada girang, membuat Azaleta harus mengecilkan volume speaker ke titik lebih rendah.

"Siapa sih, Mi?" Azaleta mendengkus. "Main rahasiaan segala. Toh, nanti ketahuan juga itu orang."

"Tuh, kamu tau sendiri," sahut Mami terkekeh penuh kemenangan, "nanti juga tau siapa. Kamu kenal kok, Sayang."

"Tunggu dulu! Leta kenal dengan dia?" tanya Azaleta memastikan.

"Hu-um."

"Dia juga kenal dengan Leta?"

"Iya, lah. Gimana sih kamu, Nak?"

"Jangan bilang Mami melakukan hal itu lagi?" Azaleta memberengut frustrasi kali ini.

"Enggak, lah. Toh, hasilnya sia-sia. Memang ada yang kamu terima buat serius? Nggak, kan?"

Azaleta benar-benar cemberut sembari mengempaskan punggung ke jok. "Mi, apa kita harus membahas itu lagi?"

"Mami nggak pengin membahas soal itu lagi," ucap Mami dengan nada dingin, "Mami cuma pengin pesanan sampai dengan selamat. Jangan sampai ada korupsi sambal lagi! Mami masih ingat kelakuanmu dua minggu lalu."

Aduh! Azaleta menepuk dahi, meringis. Mami masih ingat saja soal sambal terasi itu. "Kan itu nggak sengaja."

"Iya, iya. Ngomong sama kamu itu nggak ada habisnya. Nyahut terus."

"Kayaknya sudah sampai, Mi." Azaleta bisa merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti beroperasi tepat di depan rumah yang —tampaknya— paling besar di Kompleks Eropa. Mobilnya saja masih ada tiga, dua sedan dan satu sport. Itu belum termasuk BMW 7-Series yang baru saja Azaleta rasakan kemewahannya selama perjalanan.

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang