Azaleta 22 - Pertanda?

594 40 6
                                    

Gue sama Arka kudu ke Thailand, ngejar flight subuh buta, sebelum azan subuh udah harus di bandara. Ada urusan pekerjaan di sana. Sorry nggak ngasih tau duluan, soalnya gue nggak tega bangunin lo. Take care. Jaga diri selama gue nggak ada.

Oh, nanti ada tukang servis AC yang bakalan datang. Mungkin sekitar jam sebelasan. Langsung antar aja ke kamar kita. Nggak usah khawatir, dia tukang servis langganan gue. Udah pasti bakalan aman. Oke?

Azaleta meletakkan kertas di tangannya ke kasur. Surat dari Ragiel. Azaleta menghela napas pendek, beranjak ke kamar mandi dengan handuk di tangan kiri. Sudah seminggu sejak pernikahan Azaleta dan Ragiel dilangsungkan. Selama itu pula, mereka tinggal bersama. Berbagi atap, bahkan berbagi ranjang yang sama. Ragiel yang meminta agar mereka sekamar. Namun, pemuda itu tidak meminta agar mereka bisa seranjang. Ragiel juga tahu diri. Hanya saja, malam saat pernikahan mereka telah usai, suhu tubuh Ragiel meninggi. Demam. Azaleta langsung tanggap, meminta Ragiel untuk berpindah dari sofa di ujung ruangan ke kasur meskipun "suaminya" itu sempat menolak. Azaleta yang sudah kelelahan karena siang pernikahan dan mengurus Ragiel yang tiba-tiba demam, akhirnya tertidur di sebelah Ragiel, berbagi ranjang yang sama.

Tentu saja mereka tidak melakukan apa-apa. Ini hanya pernikahan sandiwara. Drama. Kepurapuraan. Mereka mungkin berbagi kamar yang sama, tapi Azaleta tak pernah tahu alasannya. Ia sempat mengusulka agar mereka memiliki kamar terpisah karena toh ini rumah Ragiel sendiri. Tidak ada orang tua masing-masing yang akan curiga kalau mereka pisah kamar. Hanya ada Arka, itu pun Arka sudah tahu tentang semua drama ini. Namun, Ragiel menggeleng, bersikukuh agar mereka sekamar tanpa mau membeberkan alasannya. Azaleta pasrah saja, kalah keukeuh. Berbekal keyakinan kalau Ragiel tidak akan macam-macam, Azaleta akhirnya setuju untuk berbagi kamar dengan Ragiel. Hanya pada malam hari, tentu saja.

Setelah pernikahan mereka, tentu saja ada banyak sekali undangan talkshow atau acara yang mengharapkan kehadiran mereka sebagai bintang tamu. Sebagian Azaleta dan Ragiel hadiri, sebagiannya lagi ditolak secara halus. Beberapa wartawan yang mengetahui rumah Ragiel berada juga kerap langsung menodongkan pertanyaan dan menawarkan blitz kamera setiap kali Azaleta atau Ragiel membuka pintu rumah. Untung saja siklus itu hanya terjadi beberapa hari, karena baik Azaleta atau Ragiel tidak ada yang suka berlama-lama di rumah. Kerja. Mereka memiliki pekerjaan masing-masing. Gebleknya, di kantor Azalet sering diledek karena sukses membuat Ragiel 'normal' kembali. Azaleta hanya tersenyum kecut setiap kali ada yang melemparkan kata-kata tersebut.

"Lo lebih percaya gosip itu ketimbang gue, Let?" Ragiel terperangah pada malam setelah pernikahan selesai dilangsungkan. Pemuda itu sontak beranjak dari sofa yang ia rebahi, berjalan mendekati Azaleta.

Mampus! Azaleta mengutuk dirinya sendiri dan mulutnya yang sok pintar ini. Sekarang ia termakan getahnya. Terjebak. Antara harus menghindar atau menjawab pertanyaan Ragiel yang sekarang berdiri di belakangnya, menatap lewat pantulan cermin, dengan sorot mata menuntut penjelasan. Azaleta hanya iseng menanyakan soal itu, sungguh. Toh, kalau Ragiel memang gay, itu bukan masalah baginya. Azaleta cukup terbuka dengan kelompok demikian. Namun, rupanya ia salah orang untuk ditanyai. Sekarang, Azaleta bisa melihat lewat cermin di depannya Ragiel tengah menyejajarkan dagu ke bahunya, balas menatap Azaleta seraya menyeringai.

"Jadi lo minta bukti?" bisik Ragiel di telinga Azaleta yang masih berbalut jilbab, membuat Azaleta merinding karenanya. "Kita bisa lakuin hal 'itu' sekarang kalau lo mau tau gue normal atau nggak."

"Silakan." Azaleta melemparkan tatapan jangan macam-macam sama gue. "Jangan salahin gue kalau besok lo bonyok di berbagai tempat. Gini-gini gue pernah juara taekwondo pas SMA."

"Sadis." Ragiel tertawa, berdiri dan kembali ke peraduannya. Sebelah tangannya menopang kepala, miring ke sisi kanan di mana ia bisa menatap punggung Azaleta. "Gue seratus persen normal, oke? Gue harap nggak ada lagi pertanyaan kek gitu di antara kita."

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang