Azaleta 23 - Stalker

584 46 15
                                    

"Serius, lah." Azaleta cemberut, tak peduli meskipun si penerima telepon tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Gadis dengan jilbab lebar hijau muda itu manyun lima senti, mondar-mandir di depan ranjang. "Buat apa gue bercanda, Giel? Beneran ada dua tukang servis AC yang ngaku dipanggil sama lo, dan gue nggak tau mana yang bener."

"Mereka datengnya barengan?" Suara Ragiel diujung sana terdengar timbul tenggelam karena berbaur dengan suara keramaian. "Bentar, deh. Gue cari tempat yang lebih sepi. Di sini gue nggak bisa fokus ngomong. Ribut beut."

"Nggak, sih," kata Azaleta. "Satunya dateng pas jam sepuluh. Satunya lagi datang waktu jam sebelas, nggak lama pas yang pertama balik, dia datang."

"Tukang servis yang gue panggil harusnya datang jam sebelas, sesuai perjanjian waktu gue telepon. Dia orangnya tepat waktu, sih. Jarang datang lebih cepat atau terlambat."

Hening beberapa saat. Tidak ada yang mengisi jeda selama keduanya saling diam. Baik Azaleta maupun Ragiel sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Ragiel berdeham. "Mereka ada yang introduce dulu sebelum masuk ke rumah?" tanya Ragiel.

Azaleta mengingat-ingat sejenak. "Ada, sih, kalau nggak salah. Yang datang jam sebelas ngenalin diri sebagai Maman. Kalau yang datang jam sepuluh, nggak. Boro-boro, gue juga nggak mau tau siapa nama dia. Judes banget orangnya, Bro!"

"Oh." Terdengar nada suara Ragiel seperti kebingungan. "Seingat gue, tukang servis langganan gue itu ramah. Gue sering ngobrol sama dia kalau lagi free pas dia benerin AC di kamar gue. Dulu, ya, waktu gue masih nebeng ortu," jelas Ragiel.

Azaleta mengernyit, mulai merasa ada kejanggalan yang terus menumpuk menjadi satu. "Err ... kalau tukang servis yang benerin AC di kamar kita kemarin, mah, boro-boro mau diajak ngobrol. Malah nyuruh gue keluar. Katanya selama jadi klien lo, dia nggak bisa fokus kalau ada yang merhatiin dia kerja. Katanya, lagi, lo biasanya ninggalin dia sendiri pas dia kerja."

"Hah? Nggak tuh."

Lagi-lagi hening menjalari keadaan sekitar. Azaleta memainkan ujung jilbabnya dengan gamang, mulai memikirkan beberapa kemungkinan, dan itu jujur saja membuatnya khawatir.

"Let?" Ragiel menyapa di ujung sana. "Lo masih di sana, kan?"

"Iya, masih. Kenapa?"

"Lo lagi ada di mana sekarang?"

"Kamar kita."

"Keluar dulu, deh, dari sana. Buruan sekarang."

Lho? Azaleta menatap ponselnya dengan heran, seolah-olah Ragiel bisa melihatnya. "Ada apa?"

"Pokoknya keluar dulu."

"Oke, oke." Azaleta beranjak dari kasurnya, keluar dari kamar seraya mengunci pintu rapat-rapat. Gadis itu lantas duduk di sofa ruang tengah, menunggu. "Sekarang apa? Gue udah di ruang tengah."

"Gue pulang malam ini. Mungkin bakal telat dikit. Bisa jadi jam dua belas lebih gue baru sampe rumah bareng Arka."

"Oh, oke."

"Trus." Ragiel tidak memberi jeda di antara percakapan mereka. "Hari ini lo jangan ke mana-mana dulu. Diam di rumah aja. Kalau mau beli sesuatu, suruh Kang Dudung aja. Oke?"

Azaleta tidak tahu pasti apa yang terjadi dan hal apa yang sebenarnya di pikirkan Ragiel saat ini. "Um ... oke."

"Satu lagi." Entah kenapa, Azaleta bisa mendengar napas Ragiel seperti kejar-kejaran di ujung sana. "Jangan masuk ke kamar sebelum gue datang. Hari ini, please, tungguin gue sampe pulang."

Lah lah lah. Ini anak kenapa, dah? Azaleta semakin heran sendiri. Gadis itu sampai menatap layar ponselnya dengan raut wajah heran yang kian menjadi-jadi, seolah-olah Ragiel bisa melihat ekspresinya meski mereka sedang melakukan sambungan telepon suara.

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang