Azaleta 19 - Kisah Bersama Ragiel

605 46 25
                                    

"Lo yakin jalannya udah bener?"

Dengan cekatan Ragiel memutar kemudi mobil, sama halnya dengan Azaleta yang dengan lincahnya mengetik-swipe-menekan-mbuh, lah ponsel di tangan.

Ragiel manyun lima mili. "Jangan terlalu percaya sama Google Maps, Beib. Nggak akurat," kata Ragiel kalem sebelum terkekeh mendapati Azaleta memelotot ke arahnya.

"Beib, beib!" protes Azaleta, cemberut. "Gara-gara lo, nih, sampai kek gini."

Ragiel menyengir, menyetop mobilnya di bawah pohon rindang di pinggir jalan. Sinar matahari sore kian oranye, tapi mereka masih belum menemukan rumah yang menjadi tujuan keduanya. Kalau begini caranya bisa-bisa mereka nyasar sampai malam, pikir Ragiel.

Ragiel menghela napas, melirik Azaleta yang tengah menempelkan ponsel di telinga. Ragiel diam saja, tidak banyak protes. Komplain dengan apa yang gadis itu lakukan bisa berujung kegaharan Azaleta melemparinya dengan benda apa saja yang ada di dekat mereka.

"Gimana?" tanya Ragiel. Jujur, dia sedikit skeptis kalau mereka sudah dekat dengan tujuan.

Kedatangan mereka ke desa ini tentu saja bukan tanpa alasan. Tiga hari yang lalu, ia dan Mbak Nisa benar-benar menyambangi kediaman Azaleta. Hanya berdua mengingat Azaleta sendiri sudah menceritakan bagaimana respon Tante Khalefa—maminya Azaleta—saat Azaleta mengatakan kalau Ragiel akan melamar gadis itu.

Kurang bagus, kata Azaleta. Memang tidak ada respons seperti terkejut atau sebagainya, tapi raut wajahnya terlihat dingin, tutur Azaleta lagi.

Ragiel setuju dan baru percaya saat ia melihatnya langsung bagaimana dinginnya Tante Khalefa saat menyambut mereka, meminta agar Ragiel dan Mbak Nisa mengambil posisi duduk.

Ragiel sendiri tidak banyak bicara sesuai dengan perintah Mbak Nisa. Mungkin nyokap Azaleta terlihat keibuan dengan jilbab lebar dan kacamata yang menampilkan aura bersahaja dari wajahnya, tapi, percaya, deh, Ragiel belum melihat aslinya bagaimana.

Lagi-lagi, Ragiel harus setuju.

Tante Khalefa memang terlihat keibuan, tetapi Ragiel bisa merasakan aura defensif yang kental. Bahkan saat Mbak Nisa memulai percakapan (Mbak Nisa memang paling bisa diandalkan di saat seperti ini), Tante Khalefa terlihat dingin. Padahal Mbak Nisa sendiri sudah menjalin hubungan sebagai klien katering Tante Khalefa sejak lama.

Ragiel sukses merinding saat Tante Khalefa meliriknya dengan ujung mata. Ragiel menenggak ludah, melihat Azaleta yang berdiri di belakang Tante Khalefa terlihat tak kalah cemas bercampur gugup.

Klimaksnya adalah saat Mbak Nisa mengatakan kalau adiknya, yang tak lain adalah ia sendiri, Ragiel Andana, ingin melamar Azaleta dalam waktu dekat.

Hal yang dalam sekejap mata memantik perdebatan tanpa bisa dicegah antara Mbak Nisa dengan Tante Khalefa.

Sama-sama gahar, punya keahlian verbal mempertahankan argumen masing-masing, sinis yang terselip dalam jalinan kalimat, dan sorot mata yang tajam. Ragiel sampai harus menenangkan Mbak Nisa, sama halnya dengan Azaleta yang menenangkan Tante Khalefa.

Tante Khalefa tidak setuju, tentu saja, bahkan tidak segan menyebut dirinya sebagai laki-laki bermasalah.

Ragiel menggigit bibir, ingin angkat bicara sebelum Mbak Nisa lagi-lagi menahannya.

Terjadi percakapan dengan suasana yang masih memanas. Azaleta yang telanjur tercebur ke dalam drama ini, mengatakan kalau ia menyukai Ragiel dan bersedia kalau Ragiel memang serius ingin melamarnya.

Hari itu berakhir dengan satu keputusan dari Tante Khalefa: Azaleta harus mengajak Ragiel untuk pergi ke desa di mana kakek dan nenek Azaleta tinggal.

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang