Azaleta 25 - Awal dari Segalanya

1.9K 67 31
                                    

"Gue mencium sesuatu yang nggak beres di sini." Mbak Nisa mengerling, menopang dagunya dengan sebelah tangan di meja restoran. "What's up, Sis?" tanya Nisa kemudian.

Azaleta yang tengah menyeruput air putih dari tumbler-nya langsung tersedak. "Apanya, Mbak?"

"Tell me somethin." Nisa mengangkat alisnya tinggi-tinggi, lantas terkikik begitu dilihatnya ekspresi wajah Azaleta tak kunjung menunjukkan isyarat mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan Nisa. "Wajah lo blink-blink menyilaukan hari ini. Kek bahagia banget. Seolah-olah lo baru dapat asupan serotonin dari ... um ... you know what I mean, lah, ya."

Beberapa saat, Azaleta cengo, tidak paham ke mana arah pembicaraan mereka. Mbak Nisa juga sepertinya senang sekali bermain teka-teki akhir-akhir ini. Blink-blink? Serotonin? Dahi Azaleta mengernyit sebelum ia menyadari clue tentang apa yang dibicarakan Mbak Nisa. Sontak saja, Azaleta mengusap tengkuknya malu, tak memungkiri kalau wajahnya saat ini terasa memanas.

"Nah, kan!" Nisa bertepuk tangan sekali dengan raut wajah riang, berbeda sekali dengan raut wajah yang biasa diperlihatkannya ketika di kantor. Hal itu sukses membuat Azaleta merinding karena kelakuan Nisa yang mulai out of character. Tentu saja Azaleta tidak akan memprotes tentang Nisa yang sudah OOC dari karakter aslinya. Bisa habis lehernya kalau mereka balik ke kantor nanti. "Tentang Ragiel, right?"

"Kok pikiran Mbak bisa ke situ?" tanya Azaleta spontan, yang mana langsung ia sesali kemudian. Dasar bodoh! Azaleta merutuki dirinya sendiri, dan mulutnya yang selalu ceplas-ceplos tanpa lihat-lihat kondisi. Semoga Mbak Nisa tidak melemparnya ke Waduk Jatiluhur nanti.

"Feelin," kata Nisa seraya nyengir kuda. "Ayolah, Let! Lo udah nikah sama Ragiel dua bulan. Gue tau persis gimana adik gue itu, dan ya, pas gue ketemu dia pagi tadi, sinar mukanya persis kek elo. Gampang buat nebak kalau ada sesuatu di antara kalian." Nisa lantas tersenyum simpul.

Azaleta hanya tersenyum, enggan menanggapi. Ah, tiba-tiba pikiranya berkelana pada kejadian tadi malam. Sontak, Azaleta semakin malu sendiri setiap kali mengingatnya.

"Jadi," kata Nisa lagi. "Cerita sekarang atau gue tenggelamin lo ke Waduk Jatiluhur kalau cuma mesem-mesem begitu!" ancam Nisa dengan ekspresi serius, yang langsung membuat Azaleta kaget karena Nisa tak luput menggebrak meja di antara mereka.

Healah! Azaleta geleng-geleng, manyun lima senti. Jadi ini alasan kenapa Mbak Nisa tiba-tiba mengajaknya untuk istirahat makan siang ke restoran, bukannya kantin kantor.

"Iya, lah!" tukas Nisa seraya mengibaskan tangannya, seolah-olah itu hal tidak penting yang tak patut untuk ditanyakan atau dikonfirmasi lagi. "Nggak ada yang gratis di dunia ini, ye. Termasuk traktiran ini, nih. Jadi, cerita sekarang atau lo balik ke kantor jalan kaki dari sini. Pilih mana?" Setelahnya, Nisa tertawa puas. Tawa jahat sebenarnya.

"Mau cerita opo, Mbak?" Azaleta bahkan bingung harus bercerita apa dan mulai dari mana. "Intinya, ya, kami udah ngelakuin hal yang lumrah dilakuin oleh suami istri."

"Ah, I see." Nisa menopang dagunya dengan tangan di meja. Sorot matanya melembut, seolah menikmati setiap kata yang dikeluarkan Azaleta untuk bercerita. "Kapan kalian pertama kali ngelakuin hal itu?" tanya Nisa blakblakan, tak peduli meski wajah Azaleta semakin merah dengan pertanyaan tak terduga tersebut. "Oke, oke. I'm sorry kalau gue kelampau kepo. Intinya, nggak nyangka, ya, Let, pernikahan drama ini berubah jadi awal hubungan real kalian."

Azaleta tersenyum tipis, dalam hati membenarkan. Pada malam setelah mereka melakukan hal 'itu' untuk pertama kalinya, Ragiel meminta untuk memulai hubungan baru dengan Azaleta. Hubungan yang asli, tentu saja. Keduanya bersepakat untuk tidak melakukannya lagi sampai siap dan saling mengenal satu sama lain. Tepat satu setengah bulan kemudian, tadi malam, Azaleta dan Ragiel kembali melakukannya. Selama masa pengenalan itu, Azaleta menyadari bahwa Ragiel memiliki hal yang tidak miliki oleh laki-laki yang pernah berinteraksi dengannya. Sulit untuk diungkapkan apa hal itu, tetapi itulah kenyataannya. Perlahan, Azaleta mencoba untuk belajar memahami perasaan dan meluruskan apa kemauannya dengan semua ini. Perlahan pula ia belajar, kalau menikah memanglah awal untuk bertahan menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan. Komitmen, itulah hal yang terpenting.

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang