ㅡ015

1.7K 306 19
                                    

Derap langkah kaki serta teriakan beberapa anak terdengar ke telinga Brigita. Cewek itu dengan tanggap langsung berdiri dan mendekati pintu yang tidak mau terbuka. Dengan kekuatan penuh, dia berteriak dan menggedor pintu itu kembali meminta pertolongan kepada orang-orang yang ada di sekitar gudang.

"WOIIIIII! BUKAIN PINTUNYA!"

Setelah beberapa kali berteriak hingga tenggorokannya terasa sakit, Brigita akhirnya bernapas lega saat mendengar suara dobrakan dari luar. Dia bergerak menjauh dari pintu ketika mendengar beberapa orang berteriak kepadanya untuk menjauh dari pintu karena mereka akan mendobraknya dari luar.

Benar saja, setelah menunggu beberapa menit, pintu itu terbuka dengan lebar memberikan pancaran cahaya yang membuat Rajaf bernapas lega. Cowok itu segera bangkit dari posisinya dan berlari keluar dari gudang olahraga ini.

Brigita yang melihat Rajaf hendak menyusulnya, tetapi ia melirik ke kerumunan orang yang sudah menolongnya.

"Makasih ya," ujar Brigita tulus kemudian mengambil ransel miliknya dan Rajaf. Setelah itu menyusul cowok yang kini sudah bersandar pada salah satu pilar gedung sekolah.

Brigita mendekatinya, kemudian teringat bahwa air mineral yang tadi diberikan oleh Rajaf masih ada.

"Minum dulu."

Rajaf menerimanya. Membuka tutup botol itu secara buru-buru untuk menegak isinya hingga tandas. Mengusap peluh yang terus membanjirinya, Brigita juga berinisiatif untuk memberikan sapu tangan yang selalu ia simpan di dalam ranselnya. Lagi dan lagi, Rajaf menerimanya. Mengabaikan warna merah muda sebagai warna dasar sapu tangan tersebut.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Brigita kembali bertanya ketika Rajaf sudah terlihat sedikit lebih baik daripada tadi.

Rajaf menganggukkan kepala, masih tidak mampu berkata-kata atas apa yang baru saja menimpanya.

Dia benci gelap.

Dia tidak suka akan keadaan gelap yang membuatnya tak mampu melihat apapun. Keadaan itu selalu membuatnya menimbulkan memori lama yang berhasil menyayat hati.

"Ayo, pulang."

Perkataan yang menjurus ke pernyataan itu membuat mata Brigita melotot. Menolak mentah-mentah perkataan Rajaf karena merasa cowok itu masih belum baik-baik saja.

"Ayo, balik," katanya sekali lagi.

"Yakin mau balik sekarang?" tanya Brigita kembali memastikan.

Rajaf kembali mengangguk, kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Brigita yang masih menatap cowok itu dengan tatapan heran. Brigita heran akan gengsi Rajaf yang setinggi langit. Melihat keadaan dia yang masih pucat pasi dan berkeringat, tentu saja keadaannya jauh dari kata baik-baik saja ataupun sudah membaik. Memutar otak liciknya yang terkadang pintar di saat-saat genting, Brigita berlari mengejar Rajaf, menarik ransel cowok itu.

"Jaf, kantin dulu, ya? Aku laper," katanya memberi alasan agar Rajaf berisitirahat sebentar sekaligus mengganjal perutnya yang memang lapar.

"Ya," balasan itu membuat senyum sumringah di bibir Brigita berkembang. Dengan riang, dia berjalan menuju kantin yang membuat Rajaf tidak mengerti dengan jalan pikiran Brigita. Ketika tiba di kantin, Brigita segera memesan makanannya. Tak lupa, dia memesankan Rajaf menu yang sama dengannya namun minumannya ia ganti dengan teh hangat.

Menunggu pesanannya datang, keduanya memilih diam tanpa sepatah kata. Ada sedikit rasa tidak tega pada diri Brigita untuk mengerjai atau mencemooh cowok di hadapannya. Meski jahat, Brigita masih sadar diri untuk tidak bermain-main dengan orang yang baru saja berjuang melawan ketakutannya.

Pretty RebelliousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang