Mata yang Menangis

231 24 7
                                    

Aku melihat pintu putih itu terbuka dan dua sosok yang aku cintai –maksudku Amber yang aku cintai dan tetanggaku James yang mau tak mau aku apresiasi karena kedatangannya kesini- masuk ke dalam ruangan.

Amber segera menghambur ke arahku dan menggenggam tangan kananku, "Aku sangat mengkhawatirkanmu, Honey."

Aku tersenyum tipis dan sesaat melirik ke arah James yang berdiri di belakang Amber. James menatapku dengan tatapan yang sulit aku tafsirkan. Dia tersenyum lebar dan mendekat dengan ragu.

"Apa yang kau rasakan sekarang, Nadia?" tanya James dan duduk di samping Amber.

"Aku merasakan pusing dan lelah." Jawabku pendek.

"Alice dan Hamida akan datang kesini nanti sore." Timpal Amber sembari meremas tanganku. "Kau harus kuat. Kau akan baik-baik saja." Amber kembali berbisik dengan suara serak. Aku bisa melihat air mata kembali turun di kedua pipi cokelatnya. Kau mungkin heran kenapa Amber bisa semelankolis ini? Ya, memang dia sahabat yang paling dekat denganku. Maksudku, memang Alice dan Hamida juga dekat denganku, tapi diantara mereka hanya Amber yang aku anggap seperti saudara kandung sendiri.

Dan kupikir tangisnya saat ini tak lebih karena dia memiliki hati yang begitu lembut. Amber memang mudah tersentuh perasaannya.

"Kenapa kau menangis, Amber. Aku baik-baik saja." seruku masih dengan senyum yang aku paksakan.

Amber hanya diam dan berusaha menahan air matanya.

"Amber, kau belum makan kan?" tanya James sembari menatap Amber yang sibuk menyeka air matanya.

Amber mengangguk pelan.

"Kalau begitu aku akan membelikan makanan di kantin. Kau tunggu disini." Timpal James dan berlalu dari ruanganku.

Aku menatap Amber dengan senyum jahil. "Wah, dosen kita mulai memiliki perhatian lebih kepadamu, Amberku sayang."

Amber menggeleng lemah. "Bukan saatnya bercanda, Nadia. Kau sedang sakit."

"Ayolah, aku pernah membaca artikel ternyata bercanda dan tertawa itu bisa mempercepat proses penyembuhan. Jadi mari kita tertawa. Ha, ha, ha."

"Tertawamu Aneh, Nadia!" seru Amber dan sekarang di kedua bibirnya tersungging sebuah senyuman. "Kau jangan salah paham dengan perhatian Mr. Brown kepadaku. Justru jika kau tahu pengorbanan dia untukmu, kau akan bisa menilai bahwa tetanggamu itu memiliki perasaan special kepadamu."

"Maksudmu."

Amber mendekatkan wajahnya ke arahku dan berbisik, "Asal kau tahu, ketika aku tidak mendapatkan pesan singkat balasan darimu, aku merasa khawatir dengan kondisimu. Mau tak mau aku meminta izin kepada James untuk keluar kelas dan menelponmu saat itu juga. Dan kau tidak mengangkat telponku, aku semakin khawatir. Aku_"

"Apakah kau yang membawaku ke rumah sakit?" tanyaku.

"Jangan menginterupsiku! Aku belum selesai bercerita!" sambar Amber dengan tatapan galak. Terkadang aku merasa aneh dengan kepribadian Amber. Beberapa menit yang lalu dia menangis dengan kesedihan yang luar biasa, dan tiba-tiba dia sekarang berubah menjadi gadis pemarah dan si tukang gossip andal. Sepertinya dia harus memeriksakan dirinya ke psikiater. Oke, aku terlalu jauh berpikir, aku harus menyimak cerita Amber.

"Aku meminta izin kepada Mr. Brown untuk mengunjungimu dan kujelaskan kekhawatiranku. Lagipula di hari sebelumnya kau kan pernah bilang kau merasakan sakit dan lelah. Nah, Mr. Brown meminta kepadaku untuk mengabarinya tentang kondisimu jika aku telah sampai ke apartemen."

"Lalu?"

"Lalu, aku menemukanmu di ruang makan dalam keadaan tak sadarkan diri dengan pecahan-pecahan gelas di sekitarmu. Jelas aku panic dan segera mengabari James. Kau tahu apa yang terjadi setelah itu, ha?!"

NEIGHBOR'S SECRET [Rahasia Tetangga]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang