Kurang lebih sudah 3 kilo meter bis itu berlalu dari halte ketika aku sadar bahwa aku lupa membawa suntik insulinku. FYI, aku sekarang harus selalu membawa jarum suntik itu kemana pun aku pergi. Mrs. Ashley mewanti-wantiku untuk selalu membawa suntik insulin di tasku. Kau lihat, sepertinya penderita diabetes yang bergantung pada pasokan insulin dari jarum suntiknya tak berbeda dengan penderita HIV/AIDS. Bedanya, kami bergantung pada jarum suntik, mereka bergantung pada obat yang harus mereka minum sepanjang hidup mereka.
Oke, aku tidak akan mengeluh disini mengingat sekarang aku sedang berpikir keras untuk memilih melanjutkan perjalanan ke kampus atau kembali pulang ke apartemen untuk mengambil suntik insulin yang kusimpan di atas nakas.
Setelah beberapa saat terjadi percakapan monolog di hati, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus. Aku pikir, sehari tampa insulin bukan kesalahan yang fatal. Jadi, izinkan aku hidup tanpa jarum suntik itu hanya sehari ini. Kemarin aku terlambat tiga jam dari jadwal, aku bugar-bugar saja. aku hanya merasa kelelahan dan sedikit pening.
Jadwal menggunakan suntik insulin yang direkomendasikan oleh dokter Ashley adalah selepas makan siang dan sebelum tidur. Jika aku sedang berada di kampus, biasanya aku akan 'bersembunyi' ke toilet untuk menyuntik jaringan lemak di tubuhku. Bagian tubuh berlemak seperti lengan atas, paha dan abdomen perut sekarang harus rela ditusuk oleh jarum suntik.
Aku tidak berani menyuntik lenganku di tengah-tengah kerumunan orang mengingat kemarin lusa aku mendapatkan pandangan yang tidak mengenakan dari pengunjung restoran ketika aku dan ketiga temanku makan malam di luar. Mereka melihatku seolah-olah aku gadis muda yang kecanduan jarum suntik narkoba. Gila kan? jadi untuk amannya, aku selalu 'memasok' insulin di tempat tertutup dari tatapan orang-orang.
Tapi keputusanku untuk tidak kembali pulang untuk mengambil jarum suntik itu adalah keputusan fatal. Kira-kira pukul dua siang, aku merasakan tubuhku mulai gemetaran dan pandanganku berkunang-kunang. Saat itu aku tengah menghadiri kelas Interpertasi Sejarah yang dibawakan oleh Mr. Danial.
Keringat dingin mulai membasahi kaus dalamku dan seluruh tubuhku bergetar hebat. Kepalaku semakin pening dari menit ke menit. Sementara pandanganku mulai kabur dan suara baritone Mr. Danial perlahan-lahan hilang dari pendengaranku.
Aku ambruk dari kursi diiringi oleh teriakan orang-orang yang berada di kelas.
***
Aku kembali tersadar ketika pipiku merasakan dielus-elus oleh sebuah tangan. Dan ketika aku membuka mataku, aku merasakan getaran di bawah tubuhku. Oh, aku baru tersadar aku berada di dalam sebuah kendaraan yang sedang dipacu dengan kecepatan yang maksimal. Aku menolehkan mataku dan kini aku tahu Amber ada di sampingku sementara kepalaku menyandar di pundaknya.
"Hai, Nadia sudah bangun." Seru Amber.
"Nadia sudah sadar. Syukurlah." Jawab seseorang dari arah depan dengan suaranya yang khas.
Dan detik itu pula kesadaranku pulih sepenuhnya. Kini aku berada di dalam mustang James. Aku melihat dia sedang menyetir mustangnya dan menatapku dari kaca spion depan.
"Apakah kalian akan membawaku ke rumah sakit?" tanyaku dengan lirih. Kekuatanku seakan tersedot dan aku tidak bisa menggerakan tangan dan kakiku. Bahkan aku masih gemetar dan tentunya tenggorokanku diserang rasa haus yang luar biasa.
"Tidak, kau tidak perlu perawatan di rumah sakit, Nadia." Jawab James santai. Sementara matanya hanya melirikku sekilas, "Kau hanya membutuhkan jarum suntik isulinmu sehingga kau bisa bugar kembali."
"Mungkin gula darahmu melonjak naik." Timpal Amber.
"Kenapa kau tidak membawa insulinmu, Ha?" tanya James. Kali ini lebih tepat menyebutnya sebagai pertanyaan penuh kejengkelan layaknya seorang ayah yang memarahi putrinya karena lupa tidak mengerjakan PR matematika.
"Aku lupa membawanya." Jawabku dengan lirih.
"Lain kali kau tidak boleh lupa, Nadia."
"Kalau lupa harus bagaimana lagi? Yang namanya lupa kan tidak disengaja, Mr. Brown." Jawab Amber melakukan pembelaan untukku. Aku tersenyum puas karena mendapatkan pembelaan dari sahabat dekatku. James tidak boleh semudah itu menyalahkanku.
"Tapi ini fatal. Dia bisa kolaps jika sering lupa membawa insulinnya."
"Ini pertama kalinya aku lupa membawa insulinku." Kali ini aku perlu membela diriku.
"Oke, ini pertama kalinya. Dan kuharap kau tidak melupakan insulinmu lagi." Timpal James dengan senyuman dari balik spion.
"Sepertinya kau mendapatkan perhatian yang besar dari tetanggamu, Nadia." Sindir Amber dengan senyum penuh arti. Aku hanya menghela napas. Jika tanganku tidak gemetaran, mungkin aku sudah mencubit lengannya atau mungkin memukul kepalanya. Tapi aku terlalu lemah dan hanya bisa menghela napas dan bahkan berbicara pun hanya berbisik. Sudah kubilang, aku terlampau lelah karena gula darahku sudah melonjak di luar ambang batas. Aku kembali merasakan pusing dan kembali tidak sadarkan diri.
aku merasakan tubuhku mulai menghangat dan kedua kelopak mataku bergerak cepat. Dan ketika aku membuka mataku dengan sempurna, aku menyadari bahwa sekarang aku tengah tertidur di kamarku.
"Hai, kau sudah baikan?" sapa Amber yang ternyata duduk di samping ranjangku. Dan bertepatan dengan itu James masuk ke dalam kamar. Ada gelas di tangan kanannya dan dia menyodorkannya kepada Amber.
"Kau harus minum dulu." Pinta Amber sembari menyodorkan gelas. Aku menurut dan menenguk beberapa teguk air.
"Kau sudah menyuntikan insulin?" tanyaku.
Amber mengangguk. Pantas saja, sekarang tubuhku sudah terasa ringan dan kedua kaki dan tanganku tidak gemetaran lagi. Aku duduk di atas ranjangku dan tersenyum. "Jadi, terimakasih atas bantuan kalian dan aku juga minta maaf karena telah merepotkan kalian. Dan_" aku menatap James, "aku minta maaf kepada Mr. Brown yang lagi-lagi telah mengganggu jadwal mengajarnya."
"Tidak masalah." Jawab James masih dengan senyum miringnya. Kenapa senyuman itu selalu bertengger disana? "Dan jangan sampai kau melupakan insulinmu lagi."
Aku mengangguk. "Akan aku pastikan aku tidak akan melupakannya lagi."
***
Nah, sekarang aku harus selalu membawa 'nyawa keduaku' kemana pun aku pergi dan bagiku kata 'lupa' adalah kata yang paling aku takuti. Aku tidak boleh lupa membawanya jika aku tidak ingin kolaps dan ambruk dimana pun aku berada. Gula darahku bisa melonjak secara tiba-tiba dan itu sangat membahayakan organ-organ vitalku.
Kemarin, ketika aku keluar dari apartemen untuk berangkat ke kampus, James menyapaku dan mewanti-wantiku tentang 'insulin.'
"Kau tidak lupa membawa insulinmu?"
"Tidak, Daddy. Aku sudah menyimpannya di tas." Jawabku dan mencoba melontarkan joke dengan memanggilnya Daddy. Kau lihat sendiri kan, gayanya persis seperti seorang ayah yang mewanti-wanti putrinya supaya tidak lupa membawa bekal kotak nasi atau supaya tidak lupa membawa botol minum.
"Good. Apakah kau mau daddy antar?" ternyata James berselera membalas joke-ku.
"Tidak, aku naik bis saja."
"Dan bolehkah aku memanggilmu 'Si Pelupa?'" tanya James dengan tatapan yang sarkastis. "Meningat kau juga secara sepihak memanggilku dengan panggilan 'Si pembentur Dinding' maka aku dengan senang hati menyebutmu 'Si Pelupa' karena kau kemarin lupa membawa insulinmu."
Aku menelan ludah dan tiba-tiba aku diserang rasa malu yang luar biasa. Jika bisa, aku ingin menciutkan diriku sendiri sehingga bisa masuk ke dalam sepatu.
"Kau lupa ya, aku menguping obrolanmu dengan tiga temanmu sebelum aku mengajak kalian makan malam di restoran Itali."
Aku menghela napas dan tersenyum kecut. "Maafkan aku, James."
"Itu tidak jadi soal buatku. Bagiku, gelar yang kau berikan aku anggap joke paling menghibur."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
NEIGHBOR'S SECRET [Rahasia Tetangga]
RomanceMalam pertama Nadia di New York adalah awal mula kengerian dalam kehidupan pertetanggannya dengan seorang pria New Yorker bernama James. Malam pertama itu dia tidak bisa tidur karena mendengar suara-suara aneh dari ruang sebelah. Selain itu, suara i...