Jennie dan teman-temannya masuk ke apartment miliknya, sudah sangat lama ia tidak menginjakan kaki disini.
"Waah sudah lama sekali aku tak kesnini" Jisoo berkata sambil menghela nafasnya menatap Rosé dan Jennie.
"Kuharap kau tidak teringat lagi 'dia'" Jisoo menatap lekat Jennie, mereka sudah duduk di sofa panjang milik Jennie. Yang ditatap Jisoo malah diam dan menatap kosong kaca jendela dihadapannya. Sadar akan situasi yang tidak enak, akhirnya Rosé mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong belanja yang sedari tadi dibawanya.
"Wine dipesta penyambutan kedatangan Jennie?" Ucapnya sembari mengacungkan botol hitam berisi alkohol itu. Kedua temannya langsung berbinar menatap benda hitam dan langsung memburu botol lain yang ada dikantong belanja.
"Jadi ceritakan, siapa pria itu?" Tanya Jennie kepada Rosé yang sekarang sedang menuangkan wine kedalam tiga gelas kecil.
"Kau tahu ini pertama kalinya aku menemukan laki-laki sepertinya" Rosé menjawab setelah meneguk winenya.
"Waaah, apa dia orang yang bisa membuat Rosé ku yang polos menjadi tergila-gila? Kenalkan padaku dan aku akan menilai apakah ia layak atau tidak" Tanya Jennie takjub.
"Jangan Jen, percaya padaku, lelaki itu menyeramkan. Aku heran kenapa Rosé bisa berakhir diranjang bersamanya waktu itu" Jisoo menyela Rosé sebelum wanita itu menjawab pertanyaan Jennie.
"Ini namanya cinta Jisoo... Akupun sebenarnya tidak mengerti kenapa aku berakhir bersamanya" Rosé berkata serius, Jennie dan Jisoo hanya bisa menahan tawa ketika temannya mulai membual atas nama cinta.
"Waah aku semakin..." Tepat pada saat itu ponsel pria mimisan tadi berdering, Jennie melihatnya dan tertera dilayar yang memanggil adalah yang mengirim pesan tadi, Bobby.
"...aku semakin penasaran" Pungkas Jennie, menghiraukan panggilan itu. Namun panggilan dari orang yang sama terus menganggu Jennie.
"Dari siapa Jen?" Tanya Jisoo yang sedikit terganggu dengan panggilan yang yerus diabaikan Jennie. Tepat saat Jennie akan menjawab pertanyaan Jisoo, sebuah pesan muncul dari orang yang sama.
'Siapapun kau, kurasa cukup adil untuk melaporkanmu pada polisi atas pencurian ponselku'
Jennie menghela nafas setelah melihat pesan tadi. Seketika ia menyesal membawa ponsel itu pulang dan tidak menitipkannua ke bagian informasi. Dan berdering lagi menampilkan orang yang sama, persetan dengan pesan ibunya tadi.
"Sebentar..." Jennie berkata sambil terus menatap ponsel itu, menekan tombol hijau untuk mengengkatnya.
"Iya?" Jennie berkata lembut.
"Waah akhirnya diangkat juga, kenapa kau takut polisi hmm?" Tanya orang diseberang sana terdengar kesal.
"Maaf saya hanya mematuhi keinginan ibu anda untuk tidak mengangkat panggilan siapapun kecuali beliau" Jennie berkata dengan banyak penekanan. Bukankah yang Jennie lakukan hanya menolongnya?
"Waah lancang sekali kau mengangkat teleponku, dan kau berbicara dengan ibuku?" Ia berkata tersinggung dan marah, mana bisa seorang asing dengan lancangnya mengangkat dan membawa pulang ponselnya?
"Aku hanya membantumu setidaknya. Dan ya! Aku berbicara dengan ibumu" Jennie sedikit tersulut emosi karena nada pria diseberang sana.
"Dimana kau sekarang?" Tanya Hanbin padat.
"Ini sudah terlalu larut, aku tidak menerima tamu malam-malam" Jennie merenggut kesal, sedangkan kedua sahabatnya sedang tertawa sambil terlihat mabuk.
"Hei, katakan padaku sekarang!" Nada tegas terdengar, Jennie semakin emosi dan akhirnya mematikan panggialnnya sepihak. Ia terlalu lelah untuk diajak bertengkar malam-malam, yang sekarang ingin ia lakukan adalah mabuk sepuasnya dan melupakan semua yang terjadi pada dirinya.Perjodohan? Ciiih, apa yang benar tentang perjodohan?! Memaksa seseorang untuk mencintai orang lain tentu perbuatan yang salah, dan sialnya hal itu harus menimpa Jennie. Jujur, Jennie belum memberitahu kedua temannya untuk hal ini, atau mungkin tidak akan? Ya! Jennie begitu muak dengan kata perjodohan. Orang itu adalah ayahnya, orang yang memaksa Jennie untuk mencintai orang asing, orang yang sama sekali belum Jennie kenal. Jennie kembali menghiraukan panggilan yang terus berdering dari ponsel pria mimisan tadi.
Terlihat kedua sahabatnya teler terlebih dahulu dan sekarang sedang terkapar dibawah karpet kecil miliknya. Jennie memutuskan untuk melanjutkan acara mabuk sampai pingsannya, menegak wine banyak-banyak sampai ia tidak tahu kapan ia terjengkar bersama kedua sahabatnya. Lelah, hanya kata itu yang terngiang. Jennie tak bisa menolak permintaan ayahnya, ia sungguh terlalu banyak hutang kepadanya sehingga terlalu berat hati untuk tidak menerima perjodohan ini.
'Maafkan aku... Ayah tolong ampuni aku!!!!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Murphy's Law - When Everything Went Wrong
FanfictionSeseorang yang tak tahu letak kesalahannya, hingga beribu alasan memintanya untuk berpikir kembali, namun kesalahan itu tetap dilakukannya hingga ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa memperbaikinya lagi. Aku tahu bahwa menjadi salah bukan hal yang bena...