Keempat orang itu kini tengah menikmati santap malamnya, sang Ibu tak henti memuji kemampuan Jennie dalam hal memasak.
"Jen, ini sungguh enak. Kau belajar dari mana?" Tanya Kim Heejung tanpa memerdulikan kedua pria di meja makan ini. Jennie tersenyum mendengar berbagai pujian hari ini.
"Ibuku dulu sangat pintar memasak, kurasa aku belajar darinya" Ucap Jennie setelah ia meminum sedikit air putih.
"Sungguh calon istri yang sempurna, hmm?" Kim Jeongwoo menatap putranya, Kim Hanbin yang kini tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Hanbin hampir tersedak mendengar pernyataan itu, hendak mengambik segelas air namun wanita cantik yang memasak makanannya kali ini terlebih dulu mengambilkannya.
"Minumlah..." Tanpa banyak ucapan, Jennie memberikan Hanbin segelas air minum, Hanbin langsung meminumnya mengusir rasa tenggorokannya yang begitu tercekat.Seusai santap malam selesai, Jennie beserta Hanbin, Kim Jeongwoo dan Kim Heejung duduk diruangan keluarga.
"Bagaimana dengan kelanjutan hubungan kalian?" Tanya Kim Jeongwoo menatap kedua anak muda didekatnya. Jennie melirik sekilas wajah Hanbin sebelum menjawab pertanyaan Ayah Hanbin itu.
"Kami baik..." Hanbin menjawab setelah melihat Jennie yang menatapnya bingung, Jennie hanya menampilkan seutas senyum di bibirnya.
"Kudengar kau bekerja Jennie?" Kini giliran Jennie yang harus menjawab pertanyaan Kim Jeongwoo.
"Ya, aku bekerja di perusahaan Pak June sebagai desainer grafis" Jennie tersenyum lagi-lagi.
"Heeey, sudah kubilang kau tidak usah bekerja, biar Hanbin saja yang membiayaimu" Kini Kim Heejung yang menatap Jennie. Hanbin hanya bisa membelalakan matanya mendengar pernyataan sang Ibu. Jennie tertawa kecil dengan pernyataanya.
"Kurasa sebelum kami resmi menjadi suami istri, tidak ada alasan untuk Hanbin harus membiayaiku" Jennie berkata sopan.
"Bagaimana kalau acara pernikahan kalian dipercepat?" Kim Heejung kembali menyahut, Hanbin semakin membelalakan mata, dan Jennie yang sedikit kaget menoleh pada Hanbin, bagaimanapun wanita itu tahu bahwa Hanbin menolaknya.
"Apa maksud Ibu?" Tanya Hanbin.
"Ya! Kurasa percepat saja acaranya" Kim Jeongwoo malah membela istrinya yang menampakan seringai.
"Tentu saja. Oh iya Jen, bagaimana dengan ayahmu? Kita belum sempat membahas ini dengan ayahmu" Kim Heejung dengan seringainya tanpa menjawab pertanyaan anaknya. Jennie mematung, bahkan dirinya sendiripun tidak tahu bagaimana keadaan ayahnya kini.
"Kurasa ia sibuk, akan kusampaikan saran kalian" Jennie tersenyum menenangkan.
"Baiklah... Ini sudah malam, bagaimana kalau kuantar pulang Jen?" Hanbin bertanya, dan Jennie tahu bahwa lelaki itu sangat tak ingin berada pada situasi saat ini, sehingga dengan halus mengusirnya.
"Tidak perlu, aku akan memesan taxi" Jennie menjawab tatapan Hanbin.
"Apa yang kau maksud Jen? Bagaimana dengan acara kencan kita?" Mendengar hal itu Jennie membelalakan matanya menatap heran Kim Hanbin, sedangkan kedua orang yang berstatus suami istri itu tersenyum geli ketika melihat anaknya yang terlihat menggemaskan.
"Baiklah..." Jennie akhirnya berkata, setelah tahu bahwa maksud dari tatapan Hanbin adalah ia harus menurutinya.Hanbin kini tengah bingung, menatap wanita cantik yang kini tengah menenangkan matanya, memejamkan mata hingga kehilangan netranya. Sebenarnya ia ingin membangunkan wanita cantik yang sedang tertidur disamping kemudinya itu, namun melihat wajahnya yang lelah dan dan begitu damainya ia, membuat niat Hanbin urung. Ya! Bagaimana lagi, rasa kasihan Hanbin lebih besar, menggendong wanita itu menjadi jalan satu-satunya. Hanbin turun dari kemudinya, membuka pintu satunya, hendak membawa tubuh ringkuh ini kepelukannya. Tatapan Hanbin berhenti sejenak, memandang wajah yang polos namun terlihat penuh misteri, polesan warna merah dibibirnya terlihat sedikit luntur, membayangkan bibir manis itu mendekap dirinya. Kesadaran Hanbin hampir hilang, bagaimana jantungnya berdegup dan berirama tak karuan?
"Eeeeuuunngghh..." Jennie perlahan membuka kedua matanya, menatap samar Hanbin yang kini tengah terpaku padanya, matanya kembali menghitam, namun hitamnya begitu sendu. Mereka masih terfokus pada tatapan satu sama lain, seakan mobil yang kini berada pada lahan parkir ini dilupakan.
"Ooh... Jen..." Hanbin lebih dulu mendapatkan kesadarannya, Jennie yang diajak bicarapun terhentak kaget dengan ucapan Hanbin yang tiba-tiba. Hanbin buru-buru melepaskan tangannya yang berada pada pundak Jennie hendak menggendongnya.
"Ooh... Hanbin..." Ya, keduanya terlalu kikuk untuk mengucapan ucapan lain atau sekedar kalimat lain yang lebih dapat diterima. Jantung keduanya berdegup kencang, seakan menatap satu sama lain adalah hal yang seharusnya.***
"Jen, Pak Hanbin bilang bisakah kau kembali menemuinya?" Irene menatap Jennie yang kini tengah sibuk dengan komputer kerjanya. Jennie telah menceritakan kejadian kemarin, tentu saja dengan sedikit kebohongan.
"Kenapa aku?" Jennie mendongakan kepalanya, meninggalkan sejenak pekerjaan di komputernya.
"Aku tidak tahu, padahal aku sudah menawarkan diriku untuk menemuinya" Irene mengangkat kedua tangannya.
"Baiklah, pukul berapa aku harus menemuinya?" Jennie menyerah, sesungguhnya ia masih canggung dengan kejadian kemarin. Dan sial! Ada apa dengan jantungnya?!
"Jam makan siang" Irene menjawab.Jennie kembali duduk di sofa ruangan ini, menunggu beberapa saat hingga pemiliknya datang.
"Maaf tadi ada urusan sebentar" Jennie menengok ke arah suara, terdapat Hanbin disana, yang berjalan kearah Jennie. Jennie hanya membalasnya dengan senyuman.
"Kau sudah makan? Bagaimana kalau kita keluar?" Tanya Hanbin, ingin terlihat sesantai mungkin walau sesuatu dalam dadanya ingin membuncah. Jennie tersenyum kearah pria itu.
"Tidak usah repot-repot" Jennie berkata sopan, setelah itu mengeluarkan beberapa kertas untuk laporannya.
"Eeeeyy, kau sudah menungguku, aku juga lapar. Ayoo..." Hanbin berdiri kembali, Jennie dibuat bingung dengan tingkah Hanbin kali ini, biasanya pria itu akan dingin dan acuh terhadapnya, tapi ada apa dengan hari ini? Oooh, dan sial Jennie kembali merasakan aliran darahnya mengalir tak menentu."Ada apa denganmu hari ini?" Jennie mengernyitkan dahinya, menatap aneh pria didepannya yang tengah memotongkan steak untuknya.
"Apa maksudmu?" Hanbin malah kembali bertanya, memotong potongan terakhir dan diberikannya pada wanita yang kelak menjadi istrinya itu.
"Seorang Hanbin yang kukenal tidak akan memotongkan daging untukku kan?" Jennie mengambil piring yang Hanbin beri, Hanbin melanjutkan dengan memotong steak dipiringnya. Hanbin tertawa, tawa yang baru pertama kali Jennie lihat.
"Kau belum kenal aku kalau begitu" Jawab santai Hanbin. Jennie belum memakan dagingnya sepotongpun.
"Apa salahnya jika calon suamimu memotongkan daging untukmu?" Hanbin kini menatap tajam Jennie, jiwa Jennie merosot, degupan didadanya kembali terasa, bagaimana kata-kata tadi membuat senyumnya begitu mengembang saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Murphy's Law - When Everything Went Wrong
FanfictionSeseorang yang tak tahu letak kesalahannya, hingga beribu alasan memintanya untuk berpikir kembali, namun kesalahan itu tetap dilakukannya hingga ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa memperbaikinya lagi. Aku tahu bahwa menjadi salah bukan hal yang bena...