19. Pull Herself

965 102 0
                                    

* A few months later

Jennie berangkat untuk bekerja seperti biasanya. Biasanya? Tidak! Bahkan ini sangat berbeda dengan dirinya 3 bulan lalu. Jika bekerja diperusahaan June akan terasa sangat menyenangkan, berbeda dengan disini, ia cukup tersiksa dan lelah bekerja disini.

3 bulan berlalu, Jennie cukup lega Ayahnya tidak berlaku apapun kepada dirinya, 3 bulan itu juga Jennie tidak berjumpa dengan prianya, satu-satunya orang yang ia punya namun terpaksa harus ia lepas.

Jennie duduk dimeja kerjanya seperti biasa, mengerjakan beberapa project yang belum ia selesaikan. Entah mengapa, tubuhnya begitu pening kini, kepalanya cukup berputar, dan keseimbangannya cukup oleng.

"Jen, tolong temui clientku, aku tengah sibuk. Kumohon bantuanmu ya..." Ucap seorang senior Jennie yang berbahasa Jepang itu.
"Baiklah..." Jennie mengangguk lemah sembari tersenyum tipis.
"Ini berkasnya, dan tempatnya aku akan mengirimu pesan" Seorang senior itu terburu dan pergi dari hadapan Jennie.

Jennie mengemudikan mobilnya perlahan kemudian ia sampai di salah satu café. Jennie masuk dan memberitahu salah satu pelayan bahwa ia yang akan menggunakan ruangan meeting milik café itu.

Tuk...tuk...tuk...

Jennie memasuki ruangannya, dan seketika ia mematung. Atmosfer kali ini sungguh menegangkan. Pria yang begitu ia hindari justru dengan tiba-tiba muncul dihadapannya. Seberapapun ia telah menarik dirinya namun pria itu muncul.

Jennie memilih pura-pura tidak mengenali pria Kim yang dulu bersamanya. Melanjutkan meeting mereka sampai kesepakatan mereka tercapai.
"Baiklah... Semuanya telah selesai, saya pamit terlebih dahulu... Pak...Hanbin..." Jennie berucap terburu dan berdiri. Namun kalah cepat pria itu justru menariknya dan memeluknya, Kim Hanbin dengan erat memeluknya sampai wanita itu sulit bernapas. Setetes cairan tersa dipundak Jennie. Kin Hanbin menangis?

Pria itu melepaskan pelukannya, menatap dalam wanita yang begitu didambanya, sebuah kelegaan dirasakan Hanbin setelah beberapa bulan ini yang bisa ia lakukan hanya mabuk dan mencari keberadaan wanitanya.

Tak ada kata yang mereka ucapkan, Hanbin hanya terus menatap wanita itu dan Kim Jennie yang ditatap hanya menunduk memandang meja.
"Aku...merindukanmu..." Hanbin berkata lirih. Jennie yang seharusnya bahagia namun kali ini terasa hampa.
"Kita seharusnya tidak bertemu lagi" Jennie membalas lirihan pria didepannya.
"Aku...sangat merindukanmu..." Hanya kata itu yang terlontar dari bibir Kim Hanbin.
"Aku...harus pamit..." Jennie sedikit melirik Kim Hanbin. Hanbin yang begitu bingung dengan situasi ini hanya memandang kepergian wanita yang bisa jadi ini kesempatan satu-satunya yang ia miliki.

***

Rasa pening dan pusing Kim Jennie begitu menjadi semenjak ia bertemu Kim Hanbin kemarin. Memutuskan untuk pergi ke dokter mungkin solusi paling tepat.

"Hallo..." Ucap Kim Jennie sesaat setelah ia pulang dari dokter dan mendapat berita yang begitu mengejutkannya.
"Ya...siapa?" Ucap seseorang diseberang sana. Suaranya masih sama, terdengar renyah.
"Ini aku... Jennie..." Jennie sebenarnya tidak yakin apakah ia harus memberitahu wanita itu tentang keadaannya kini.
"Jennie? Benarkah ini kau? Yaampun...aku merindukanmmu Jen!" Ucap wanita itu riang.
"Aku juga merindukanmu Hayi..." Jennie tersenyum tipis.
"Yaampun Jen... Kami mencarimu kemana-mana, kau dimana sekarang? Apa kau baik-baik saja? Ada apa tiba-tiba menelponku?" Kebiasaan wanita adalah sekali bertanya dengan beberapa pertanyaan, kebiasaan itupun tak luput dari wanita hamil ini.
"Hhaha... Aku ada di Jepang sekarang, ya... Aku baik-baik saja Hayi.. Aku menelponmu untuk bertanya sesuatu" Jennie tersenyum.
"Bertanya apa?" Tanya Hayi.
"Kau lebih berpengalaman untuk ini... Susu apa yang bagus untuk ibu hamil?" Jennie bertanya dengan suara rendah.
"Hamil? Kau hamil Jen?" Sontak wanita itu bertanya kaget.
"Hmm... Usianya tiga bulan"
"Tiga bulan? Tunggu-tunggu apakah itu anak Hanbin?" Hayi kembali bertanya.
"Iya... Tapi kumohon jangan beritahu dia, cukup Jisoo atau Rosé saja ya..." Jennie berkata murung.
Percakapan akhirnya berlanjut, mengenai apa yang ia lakukan dan segala sesuatu yang Jennie alami.

***

Hari yang begitu cerah, cahaya matahari masuk melalui celah kaca. Kim Jennie yang izin sakit untuk tidak masuk kantor hanya bisa termenung sendirian dirimah kecilnya.

Antara bahagia dan sedih ia alami. Makhluk kecil tengah tumbuh dirahimnya, sungguh tidak dapat ia percaya, begitu bahagianya ia ketika dokter memberitahunya si kecil ini tengah berusia tiga bulan. Sisi yang lain sedih muncul, ia tahu bahwa anaknya ini tidak mungkin untuk tumbuh dengan Ayahnya. Ya! Kim Jennie memutuskan membesarkan anaknya sendiri, tanpa memberitahu Hanbin sama sekali. Ia tahu bahwa tidak mungkin untuknya meminta pertanggung jawaban dari pria itu.

***

Kim Hanbin tengah melamun. Pikirannya kembali pada 24 jam yang lalu saat ia bertemu wanitanya. Begitu bahagia hingga hanya pelukan yang bisa mewakili perasaannya.

Jennie tetap sama, tetap cantik dalam balutan pakaian apapun, sekalipun hanya memakai kaus bolong-bolong. Auranya masih sama, tetap memancarkan bahwa wanita itu begitu menarik dalam satu pandangan kecuali satu hal yang menghilang, wajahnya begitu pucat, seperti orang sakit. Hal itu membuat Kim Hanbin khawatir pada wanitanya.

Ia tahu bukan saatnya untuk menyerah, Kim Hanbin yakin bahwa wanita itu masih memiliki perasaan yang sama sepertinya. Meski wanita itu jelas menolak apapun yang seharusnya menjadi atensinya. Sedikit sedih dan ingin menyerah? Mungkin itu yang Hanbin rasakan ketika tak ada balasan apapun dari wanitanya. Namun sekali lagi ia tahu bukan saatnya untuk menyerah.

Murphy's Law - When Everything Went WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang