Musim hujan telah datang. Manusia sehat terpaksa mencicipi sakit untuk balasan dari bandelnya mereka yang enggan berteduh. Dari sekian banyak manusia sakit, Seulgi termasuk yang terkena flu—pilek tiada henti-hentinya.
“Seul, pakai masker biar nggak nular ke yang lain.” Irene masih hobi mengingatkan teman dekatnya itu.
“Ah nggakpapa deh, biar menular sekalian. Lagipula udah sakit, kalau sakitnya sendirian kok rasanya sedih banget yaa..”
“Nakalnya aja sendirian, makanya kalau yang lain mau pakai payung jangan sok jagoan hujan-hujanan gitu.”
“Ya gimana, kan payungnya dipakai kamu.”
Irene jadi teringat, dua hari lalu dia buru-buru pulang ke rumah karena adiknya takut ke kamar mandi sendirian sedangkan orang tuanya sedang ke rumah paman. Dia meminjam payung bunga-bunga milik Seulgi untuk segera menemani adiknya yang terlanjur sangat penakut itu. Dan dia tidak tahu, Seulgi yang juga tidak betah menunggu nekat menerobos hujan.
Hmm, jadi Irene yang salah?
“Salahku?” Irene memasang wajah cemberut.
“Mau nggak ikutan pilek buat menebus dosa?”
Irene melirik Seulgi yang tersenyum meledek dengan hidungnya yang merah karena memasuki pilek fase berat. “Kita cuti berteman dulu ya sampai kamu sembuh. Bye Seulgi.”
Seulgi dibuat melongo, melihat punggung Irene yang menjauh. Dia menarik nafasnya, mencegah ingus keluar hidung.
--Nyatanya Irene hanya main-main, karena sorenya dia masih ke rumah Seulgi. Bagaimana bisa cuti beberapa hari, Irene lebih memilih melihat Seulgi menyeka ingus di depannya daripada tidak melihatnya sama sekali. Bagi Irene, kelebihan Seulgi adalah mudah dirindukan.
“Makanya minum obat Seul. Obat itu ibarat pengusir rasa sakit, jadi kalau kamu nggak mau minum obat, sakitnya betah berlama-lama.”
Seulgi menyeka matanya yang seharian ini berair, “Katanya bersyukur karena kita masih bisa diberi rasa sakit, Rene. Jadi ya nikmati dulu, nanti kalau dua hari lagi nggak sembuh-sembuh baru deh minum obat.”
“Bilang aja kamu nggak bisa minum obat, sok filosofis deh,” olok Irene kesal.
“Hehe, itu alasan kedua kok. Alasan utama ya tetap tadi.”
“Tapi kalau gini, nggak cuma hidungmu yang meler tapi kepalamu juga ikutan sakit. Belum lagi matamu ikutan pedih makanya seharian ini berair. Dan tahu nggak kabar buruknya lagi? Orang pilek itu nggak ada yang keren Seul, termasuk kamu.”
Seulgi terkekeh mendengar omongan panjang Irene. Dia paham, di sekolah fansnya sangat banyak. Kalau disuruh membentuk organisasi, cukup jumlahnya untuk mengisi posisi ketua sampai koordinator lapangan beserta anggotanya. Intinya, sangat banyak orang yang tersesat dan menganggap Seulgi keren. Tapi dia cukup bahagia, mendengar Irene menganggapnya keren juga.
“Tapi kayanya kharismaku nggak luntur deh, nyatanya adik kelas masih banyak yang kirim notes ‘Get Well Soon’ dan dibubuhi tanda cinta. Hehe..”
Sumpah demi apapun, Irene menyesal mengingatkan kalau Seulgi itu keren. Dia semakin besar kepala dan Irene sedang tidak ingin melihat orang sombong.
“Terserah deh, kamu juga yang tahu rasanya gimana nggak enaknya pilek.”
“Eh tapi Rene, kamu beneran nggak mau pilek bareng aku?”
“Yaa nggaklah!” seru Irene benar-benar kesal.
“Aku penasaran, kalau kamu pilek dan buang ingus gitu, apa kamu masih cantik?”