Seulgi POV
Hari terakhir di tahun ini, aku sedikit berbahagia karena ada kemajuan hubunganku dengan Irene. Sebenarnya sih nyaris sama saja, hanya teman dekat. Tapi bedanya Irene sudah tidak terlalu anti dengan orientasi seksualku. Dan itu lebih dari cukup untuk saat ini. Bicara soal Irene, malam ini aku akan mengajaknya ke pantai untuk tahun baru-an bersama. Mumpung masih ada cukup waktu, aku mencuci motorku dulu. Motor matic-ku yang kunamai ‘mobil’ ini harus cantik sebelum bertemu calon pacarku.
Kelar urusan cuci mencuci motor, aku bergegas mandi dan memantaskan diri. Meskipun pakaianku seperti pada umumnya, hanya celana jeans dengan atasan kaus putih dibalut jaket kulit hitam. Rambutku kuikat asal. Polesan terakhir adalah membubuhkan parfum kesukaan Irene. Selesai, aku siap meluncur menuju rumahnya.
Rumah Irene cukup sepi, hanya ada papanya yang berjaga sambil membaca surat kabar di teras rumah. Papa Irene khidmat membaca meski dengan penerangan minim. Aku mematikan mesin motorku diluar gerbang, lalu menuntunnya sampai depan teras. Papa Irene melihat kedatanganku, dia menaikkan kacamata baca miliknya yang melorot.
“Seulgi?” tanyanya memastikan.
“Iya om. Mau ngajak Irene tahun baru-an,” kataku langsung meminta izin.
“Irene di dalam, masuk aja. Tapi pulangnya jangan kemaleman ya. Eh tapi ini juga udah malam.” Papa Irene malah plin-plan membuatku ikut bingung.
“Iya om. Tapi mau tahun baru-an, masa nggak malam? Kalau sore belum ada kembang apinya dong om.”
“Kenapa nggak tahun baru di rumah aja sih? Lagian bahaya, kalian berdua perempuan keluar malam-malam. Emangnya boleh sama orang tua kamu? Kalau saya sih keberatan ya.” Gawat, izin pemegang kunci tidak terbit. Aku butuh bantuan Irene melunakkan hati papa-nya yang jarang-jarang ada di rumah.
“Saya jagain Irene kok om. Om Yunho nggak usah khawatir, saya anterin sampai rumah dengan selamat.” Nekat juga sih, janji menjaga anak orang. Kita juga tidak tahu apa yang terjadi di jalan. Artinya, aku siap berkorban demi Nyai jika diperlukan.
“Siapa yang ngajarin gitu? Biasanya kalau gampang janji, mudah mengingkari. Sepengetahuan saya saja sih.” Om Yunho a.k.a Papa Irene memang ngeselin sih aslinya. Mana Irene tidak keluar dari rumah pula, atau siapalah yang seharusnya membuat Om Yunho memberikan ijinnya.
“Saya berani janji karena saya yakin bisa nepati, om.” Kepalang nekat, ya sudah aku lebih nekat lagi.
Dan terbukalah hatinya—eh pintu rumah Irene. Menampilkan anak remajanya yang cantiknya kebangetan. Outfitnya malam ini, kaus dibalut kemeja flannel. Irene dengan tatapan dingin miliknya membuatku membeku di tempat. Aku tidak bisa memindahkan pandanganku sesenti pun. Dia berjalan dan gelendotan manja pada Om Yunho.
“Pa, ijin pergi sama Seulgi ya,” katanya dengan suara manja seperti anak-anak minta dibelikan permen.
Tahukah kamu, seberapa tingkat mengeselkan Om Yunho? Tanpa argumen apapun, dia mengangguk takluk sambil tersenyum dan mengusap lembut rambut putri kesayangannya.
“Hati-hati ya Rene.” Suaranya berbalik 180 derajat dari ketika dia berbicara denganku.
“Makasih, pa.” Irene menghadiahi kecupan di pipi Om Yunho sebagai balasan terima kasih telah memberikan tiket ijinnya. Aku hanya menghela nafas malas, untung calon mertua.
--Irene berpegangan padaku sepanjang perjalanan. Tidak banyak obrolan, karena komunikasi di jalan dengan helm dan noise jalanan sangat tidak efektif. Barulah sampai di pantai, aku turun dari motor. Meniru adegan di film romansa, aku melepaskan ikatan pengait helm Irene. Dia tersenyum manis, membuatku meleleh.