Langit tampak mendung, padahal perkiraan cuaca di televisi bilang hari ini cerah. Entahlah, bagi Seulgi cuaca sama seperti wanita pada umumnya; semaunya sendiri, tidak bisa ditebak secara akurat dan harus diterima maunya. Seulgi tidak begitu paham soal wanita sih, hanya saja yang Seulgi tahu kalau Irene seperti itu.
Seolah ingin menahan Seulgi untuk pulang, hujan turun tepat ketika kaki Seulgi menyentuh tanah tak beratap. Dia menghela nafas malas, ingin menerabas hujan, takut pilek lagi. Alhasil dia mundur dan kembali duduk-duduk di bangku depan kelas.
“Kenapa nggak hujan-hujanan? Cuma gerimis aja kok.” Irene sudah berada di depannya, dengan tangannya menangkap rintik gerimis.
“Nggak mau, gerimis itu justru yang bikin sakit. Soalnya kita merasa nggak kena hujan, jadinya nggak langsung dikeringin.”
“Kata siapa?”
“Kata Sejeong.”
“Yah kalau katanya Sejeong nggak akurat dong.”
“Kamu nggak boleh gitu, Rene. Bapaknya Sejeong tuh pawang hujan. Katanya, pendidikan dasarnya itu bahas macam-macam hujan sampai kekuatan hujan pada kekebalan tubuh manusia.”
Irene tertawa kecil mendengar penjelasan tidak masuk akal dari Seulgi. Belum lagi, Seulgi menjelaskan dengan wajah seriusnya, seolah-olah ini sangat ilmiah.
“Terserah kamu aja,” timpalnya malas berdebat lalu duduk di kursi panjang sebelah Seulgi.
Mereka hening sementara. Keduanya melihat tetesan air yang jatuh dari atap menimpa tanah. Entah apa motivasinya, larut sejenak dalam gerimis yang tak berkesudahan.
“Rene,” Seulgi berinisiatif memecah hening.
Nama yang dipanggil hanya menoleh sambil melihat beruang yang tetap menatap ke depan.
“Aku nggak jadi sama Krystal.”
Irene menghela nafas pelan. Dalam hatinya ada satu gemuruh yang mereda, satu perasaan khawatir dan takut kehilangan Seulgi pupus.
“Kenapa? Krystal straight? Udah punya pacar?” cecar Irene sok tahu.
“Kamu tuh bisa lebih positif nggak sih jawabannya.”
“Ya adanya cuma duaa opsi itu, Seulgi.”
“Ada opsi lain, Irene. Misal ternyata aku lebih suka orang lain, jadi aku mundur untuk memperjuangkan orang lain. Itu kan lebih positif.”
Irene tertawa, “Terus alasannya karena itu? Kamu pantang banget sih ditolak.”
Seulgi mengangguk, “Aku emang pantang ditolak, makanya masih kutahan. Karena orangnya masih straight.”
“Boleh tahu nggak siapa orangnya?”
“Kan aku udah bilang belum waktunya.”
“Ya kasih tahu ke orangnya nanti aja, sekarang kasih tahu aku dulu.”
Seulgi membuang nafas kasar ke udara, rasanya dia ingin berteriak ‘orangnya itu kamu, Rene.’ Tapi ditahan, karena ya belum waktunya.
“Eh kayanya gerimisnya bakal lama nih, pulang aja yuk.” Seulgi mengalihkan pembicaraan.
Ah, Irene tahu sahabatnya ini hanya menghindari topik yang menurutnya sensitif. Dia pun enggan memaksa, meskipun setengah mati penasaran tentang siapa orang yang lebih menarik dari Krystal, juga saingannya kelak. Eh- saingan?
“Katanya gerimis bikin sakit,” Irene mengulang teori Seulgi.
“Yaudah tunggu sini bentar, aku cari payung di loker-loker.”
Seulgi bergegas menghilang dari pandangan Irene, lalu lima menit kemudian kembali dengan payung kuning di tangan.
“Ayo Rene pulang.”
Seulgi menarik tangan Irene untuk berdiri mensejajarinya. Irene kini merasa sangat dekat dengan tubuh Seulgi karena payung yang tidak terlalu besar. Mereka merekat secara alami, supaya tak ada pundak dari salah satunya yang terkena tetesan air hujan. Seulgi gemetar hanya berjarak beberapa senti dari temannya yang dia kejar mati-matian ini. Dia nyaris memilih menerjang hujan saking gugupnya berdekatan dengan Irene dalam satu payung yang sama.
“Eh kok kita kaya di film-film,” kata Seulgi memecah canggung.
“Aku nggak pernah tuh nonton film yang ada adegan kaya gini.”
“Duh ini tuh kaya Love Rain, dramanya Yoona. Wah kamu harus nonton, Yoona cantik banget disitu.”
“Ih Seulgi! Jangan ngomongin korea-koreaan deh sama aku, mana paham.”
Seulgi baru ingat, pengetahuan Irene hanya sebatas EXO dan BTS. Drama yang dia tonton sekedar Goblin dan Descendant of The Sun.
“Ah iya lupa. Emang di Cinta Fitri nggak ada adegan kaya gini?”
“Cinta Suci bukan Cinta Fitri!”
“Eh Fitri kan artinya suci,” Seulgi malah berdebat.
“Sebel deh sama Seulgi.”
Irene agak menjauh dari Seulgi sebagai bentuk protesnya. Seulgi memang menyebalkan, tidak pernah mau salah. Huh, dasarnya Seulgi sama saja seperti wanita pada umumnya.
Seulgi terkekeh melihat Irene yang cemberut dan berjarak dari dirinya. Tangan Seulgi menarik Irene untuk lebih dekat dengannya.
“Mendekat, aku bakal cemburu kalau air hujan nyentuh kulitmu.”
Niatnya mengerjai Irene, tapi keduanya justru berdebar tak menentu.
"Duh ngomong apa sih." -Kang Seulgi
"Jangan baper, katanya straight." -Bae Irene
tbc
-barangkali ada yang belum terlelap.