Seulgi POV
Rintik hujan menyapa di jendela kamarku. Aku mengeratkan jaket pada tubuhku, udara dingin menusuk sampai tulang. Memang akhir-akhir ini kekebalan tubuhku menurun. Ponsel di atas nakas berbunyi, aku menaruh laptop dari pangkuan dan tanganku menjangkau ponsel.
“Halo, Rene.”
“……”
“Sekarang dimana?”
“…..”
“Aku kesana sekarang ya.”
Berita sial dari Irene yang ban motornya kempes di tengah hujan seperti ini. Tanpa peduli cuaca dan persetan dengan ketahanan tubuhku yang riskan, segera saja kupacu mobil papa.
Lama tidak berkabar, aku kini menjadi sahabat dekat Irene lagi. Kurasa aku bisa memutuskan untuk menjadi bahagia dengan bersama, bukan dengan memiliki.
Musik dari mobil beradu dengan suara hujan di luar sana, sesekali aku menambah laju mobil supaya tak membuat Irene terlalu lama menunggu. Di ujung jalan, tampak seseorang tengah berteduh di bawah atap halte dengan motor mogok disebelahnya.
“Rene,” sapaku ketika turun dan menepi ke halte.
“My hero,” balasnya menggelikan.
“Jijik Rene, kamu nih ngerepotin aja.”
“Maaf Seul, mana tahu kan bisa kejadian. Kayanya ada yang nyebar paku deh.”
“Buruk sangka aja. Motormu dititipin dulu dekat sini. Ada penitipan motor atau orang yang kamu kenal nggak?”
Irene menggeleng, “Kalau misalnya ada kenalan ya ngapain aku ngehubungin kamu yang jauh. Bakat banget emangnya aku ngerepotin orang?”
“Ya ampun Rene. Kali aja kamu udah ketergantungan aku, siapa tahu kan?”
“Hehe iya sih, malah tahun depan aku mau ujian masuk kampus lagi biar sekampus sama kamu. Aku mau nempelin kamu kaya malaikat Rakib.”
Aku terkekeh mendengarnya posesif, “Belajar yang rajin makanya, jangan pacaran mulu sama Sehun.”
Irene memang tak pernah jauh dari Sehun, bahkan mereka ditakdirkan satu kampus dan satu jurusan. Meskipun dirinya selalu mengelak memiliki perasaan lebih kepada idola satu jurusan itu. Pun Irene, dia adalah idola satu jurusan pula, bedanya Sehun keren, sedangkan Irene anti-sosial. Lihat saja siapa yang dicarinya di tengah badai begini? Kang Seulgi.
“Udah ah, buruan Seul bergerak. Dingin nih.”
Aku memindai Irene sebentar, melihatnya mengenakan baju lengan panjang yang tipis dengan celana jeans digulung. Tanpa pertimbangan aku membuka jaketku, lalu menaruhnya dipundak Irene.
“Pakai sendiri. Aku tanya dulu sama mbak-mbak itu sebentar.”
Setelah meninggalkan Irene tak lebih jauh dari lima langkah, aku bertanya pada seorang perempuan paruh baya yang tengah menunggu angkutan. Dia memberi petunjuk, sejauh satu kilo dari halte terdapat tempat penitipan motor.
“Ada tuh, satu kilo dari sini. Makanya jangan ansos, ada orang malah diam aja, bukannya tanya.”
“Ish, dia aja baru datang setelah kamu datang kok. Marah-marah terus si Seulgi, kesel deh!”
“Ya udah sekarang mau gimana? Nggak bisa dinaikin sama sekali?”
“Bisa kalau dekat, walaupun agak bahaya.”
Aku menggeleng malas, “Buruan naik ke mobil, kamu bisa nyetir kan? Ikutin aku dari belakang.”
Akhirnya kami bertukar kendaraan, lantas melaju pelan diantara hujan yang masih gemar berjatuhan di tanah. Hingga tibalah di suatu tempat yang diyakini penitipan motor. Setelah berbasa-basi dan menitipkan motor, aku naik ke mobil dengan tubuh menggigil.