Hari ini Seulgi berencana menonton dengan Krystal. Pergerakannya memang tergolong cepat, hanya tiga hari dia sudah mendapat id line gadis yang terlihat sangat dingin itu. Tentunya atas bantuan sahabat karibnya, Moonbyul.
Seperti biasa, informasi harian Moonbyul tidak kalah cepat dari kantor berita pada umumnya. Dia segera mengabarkan, gadis dingin itu pergi ke perpustakaan saat jam istirahat. Dan entah sumbernya darimana, Moonbyul juga mendata buku favorit Krystal. Sungguh sahabat yang baik, hanya tinggal dibuktikan kevalidan informasinya.
“Aku Seulgi,” secara spontan dia menyodorkan tangannya dan mengenalkan diri tanpa ditanya. Krystal hanya mengerutkan dahinya bingung dengan tata cara perkenalan yang terbilang cukup spontan.
“Krystal,” katanya kemudian secara sopan, membuat Seulgi tertawa kecil.
“Boleh minta waktunya sebentar? Aku bawa kuisioner tentang ‘Pengaruh Novel Fiksi terhadap Romansa Remaja’. Hanya sekitar sepuluh pertanyaan, mungkin berkenan membantu.”
Seulgi menyodorkan secarik kertas yang sudah digandakan demi keperluan perkenalannya. Tentu saja itu hanya rekayasa semata, tidak ada waktu untuk penelitian-penelitian semacam itu. Hanya saja di kuisioner itu, ada biodata singkat yang harus diisi calon responden. Itu yang Seulgi incar sedari kemarin.
Krystal menerima kertas itu dan mengisinya dengan seksama, tanpa mencurigai kuisioner fiktif di tangannya. Dan Seulgi tersenyum dengan ide brilliannya, dia bisa mendapat id line Krystal tanpa cara terkesan meminta.
--“Seulgi, bisa ikut ke rumahku nggak? Arin nggak mau makan gara-gara keliput mati.” Itu suara Irene yang menahan Seulgi ketika hendak keluar kelas.
“Gimana ya Rene, kayanya nggak bisa sekarang deh. Nanti malam gimana?”
Tentu saja, Seulgi ada janji menonton dengan Krystal. Irene tentunya juga paham, makanya ingin menahan Seulgi untuk pergi.
“Kamu nggak kasihan sama Arin, dia nggak mau makan dari semalam. Dia kan cuma nurut ke kamu aja,” katanya masih dengan nada memohon.
“Duh tapi aku ada janji, Rene. Nanti deh, selesai urusan pasti langsung ke rumahmu. Ya?”
Irene memasang wajah cemberut, kemudian meninggalkan Seulgi yang melihat Irene mendahuluinya. Hmm, nanti kalau Irene marah bakalan panjang urusannya.
“Krystal, aku baru dikabarin orang rumah kalau harus pulang sekarang. Gimana kalau nontonnya besok sore aja?” katanya di sambungan telepon.
Selesai. Demi menghindari kemarahan dan mood buruk teman kecilnya itu, dia segera berlari kecil mengejar Irene.
Sesampainya rumah Irene, Seulgi berlutut di depan anak kecil bernama Arin. Dia adik Irene yang usianya terpaut jauh, sekitar sepuluh tahun. Dan anehnya, dia lebih dekat dan patuh pada Seulgi yang memang sering main ke rumah Irene.
“Arin, makan ya. Kakak Seulgi udah bawain makanan enak banget nih buat Arin.”
“Nggak mau, Arin nggak mau makan kalau keliput tetap tidur gitu.”
Yaa, keliput adalah kelinci-putih, peliharaan beserta teman sepermainan Arin. Dan berita dukanya, keliput sudah tidak bernyawa lagi. Arin merasa sangat kehilangan, rasanya benar-benar patah, ditinggalkan sesuatu yang setia bersamanya selama bertahun-tahun.
“Keliput kan udah lama main sama Arin, kalau mau cari keliput-keliput yang lain buat teman Arin. Gimana?”
Arin mendengus kesal, “Kak walaupun sama, tapi beda!”
Seulgi menghela nafasnya, “Arin nggak mau kenalan sama teman baru?”
“Tapi kan Arin sayang keliput.”
“Kakak juga sayang Arin, makanya makan dulu ya. Kasihan perutnya kan?”
Akhirnya setelah ber-chapter segala rayuan dan penjelasan ala Seulgi, Arin bisa melepas kepergian keliput dan menurut untuk makan. Seulgi mengambil satu hikmah penting; pada halnya manusia, mereka sebenarnya sama tapi beda.
--Kini Irene ganti main ke rumah Seulgi. Niatnya membantu tugas Seulgi, imbalan karena Seulgi berhasil membujuk Arin menyingkirkan kesedihannya. Tapi di perjalanan, Irene tergelitik bertanya satu hal pada teman kecilnya itu.
“Seulgi, kamu sama Krystal sejauh apa?”
Seulgi tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan Irene. Baru saja belum genap dua minggu berkenalan, itu pun karena beda kelas jadi intensitas bertemunya jarang. Tapi bisa membuat Irene penasaran tentang ‘hubungan seperti apa’.
“Belum jauh kok, namanya juga baru kenal semingguan.”
“Tapi kamu ada niatan lebih jauh? Hmm, maksudku hubungan spesial dalam dunia kalian.”
Seulgi terkekeh mendengar istilah ‘dunia kalian’.
“Apa yang beda antara duniamu dan dunia kami, Irene? Ketika kamu jatuh cinta ke Bogum rasanya sama dengan aku jatuh cinta ke lainnya. Bedanya dimana?”
“Kamu paham maksudku, Seulgi.”
“Aku nggak bisa paham, karena emang perasaanku sama tulusnya kaya kalian yang katanya ‘straight’ saling menumbuhkan rasa. Dunia orang yang jatuh cinta itu sama.”
Irene diam sejenak, dia memahami pemilihan katanya salah dari awal. Tapi bukannya Seulgi harusnya biasa saja karena memang semuanya berbeda? Irene tetap bersikeras, Seulgi berbeda darinya.
“Jadi, kamu ada niatan terus sama Krystal?” lanjutnya masih ingin tahu.
“Masih dalam tahap diupayakan.”
Dan.. Irene sedikit merasa sesak pada dadanya. Hmm, bukannya hasil tidak akan mengkhianati usaha? Artinya?
“Tapi belum tentu sih lanjut ke tahap lebih jauh. Aku perlu usaha maksimal, tapi sejauh ini masih belum total.”
Sekarang Irene tahu betapa menariknya Krystal, tanpa perlu melihat peringkat kecantikannya melalui peramban internet. Katanya, seseorang yang begitu diusahakan memiliki daya tarik maksimal. Ah, kenapa Irene merasa takut tanpa sebab? Dia tidak paham.
“Tapi Rene, kalau Krystal straight gimana?”
Irene melirik Seulgi sekilas, “Jangan berharap lebih, Seul.”
Seulgi menghela nafasnya. “Itu kenapa aku nggak pernah menaruh harapan ke kamu, Rene,” samar terdengar, bertarung dengan suara angin di luar sana. Tapi frekuensi suaranya dapat masuk telinga Irene.
tbc