6

902 69 0
                                    

Tidak jauh di depan sana ada sebuah persimpangan yang (namakamu) ketahui kalau belok ke kiri adalah sebuah halte.

”Kayaknya mereka udah nyingkirin semua barang-barang yang menyangkut lo deh,” tambah (namakamu).

Iqbaal berlagak seperti menghela napas. ”Kayaknya rantai yang kamu temui di gedung adalah rantai yang pernah mereka gunain untuk menjerat leher sama tangan aku,” kepala Iqbaal tertunduk, mata pria itu terpejam dalam seakan bayangan menyakitkan beberapa bulan lalu itu kembali teringat di kepalanya.

”Jangan sedih, oke, kalo kita berhasil kita bakalan bales, lo mau jerat leher mereka pake rantai anjing atau rantai babi? Lo tinggal pilih. Atau kalo lo nggak tega, biar gue yang ngelakuin, tapi jangan salahin gue kalo mereka malah mati,” (namakamu) nyengir usai menyelesaikan kalimatnya. ”Hwaiting!”

Iqbaal mengangkat wajahnya dan menatap (namakamu) dengan sebelah alis terangkat. ”Kamu ngomong apa sih?”

Mulut (namakamu) menganga. ”BODO AMAT!!!”

*

(Namakamu) sedaritadi menatap bayangan dirinya di cermin dengan bahu naik-turun seakan dia baru saja menyelesaikan lari maraton sejauh 1000 KM. Kulit wajahnya yang putih mulus itu berubah memerah seiring berlalunya waktu, ada perasaan jengkel yang tak bisa di jelaskan saat ini. Kedua tangannya yang ada di sisi tubuh pun mulai terkepal kuat bersamaan dengan gemeletukan mengerikan yang di hasilkan oleh giginya. Perlahan namun pasti, (namakamu) memutar kepalanya, memandang makhluk entah apa namanya yang ada di belakang sana.

”Gue kayak cabe-cabean,” ujar (namakamu) lemas, entahlah, hasrat ingin marahnya kepada pria, yang sekarang tiba-tiba saja sirna saat seutas senyum cerita tercetak jelas pada wajah pucat pria itu.

”Cantik,” aku Iqbaal. Ya, tentu saja, siapa lagi pria yang berani masuk ke kamar (namakamu) selain Iqbaal.

”Serius gue harus pake beginian?” tanya (namakamu) lebih kepada dirinya sendiri, dia menghadap ke cermin lagi untuk memandang dirinya yang sekarang sudah memakai pakaian yang di pilih langsung oleh Iqbaal. (Namakamu) meringis menatap payudara dan bokongnya yang tercetak jelas. ”Gue serasa kayak personil Sistar gini,”

”Bukannya Shireen sungkar berhijab ya?” Tahu-tahu Iqbaal sudah berdiri di sebelah (namakamu).

(Namakamu) meneliti wajah Iqbaal, dan mendapati mata pria itu yang memandang ke arah...OH! (Namakamu) buru-buru menjatuhkan kedua tangannya ke dadanya.

”Gue lagi ngomongi SISTAR, ya! Bukan THE SISTERS!” Kata (namakamu) galak seraya menghembus beberapa helai rambut yang menutupi matanya. ”Mata lo bisa nggak sih, nggak usah,”

Kalimat (namakamu) terhenti begitu saja saat garis wajah Iqbaal berubah kikuk, dan Iqbaal buru-buru menutup wajahnya dengan tangan.

”Kenapa gue mau-maunya ya bantuin lo, padahal lo bukan siapa-siapa gue. Kenal juga kagak, sodara juga bukan. Ngaku! Pasti lo jampi-jampi gue kan?”

Pertanyaan (namakamu) tak sempat terjawab karena tiba-tiba saja suara bel terdengar. (Namakamu) meraih blazer yang belum dia kenakan, dan memakainya. (Namakamu) tidak tahu siapa seseorang di luar sana, dan sangat tidak lucu jika seseorang itu adalah Aldi atau Bidi. Yeah, setahu (namakamu) hanya itu dua orang pria yang dia kenali.

*

”(Namakamu)!!” Seru seorang gadis saat (namakamu) membuka pintu, gadis yang hanya mengenakan kaos putih dan celana setinggi lutut itu langsung menghambur memeluk (namakamu). ”Gue kangen banget tau sama lo, gue pikir lo masih tinggal di kosan jelek lo sewaktu SMA itu, gue udah tanya ke Tasya, Celine sama Cindy tapi mereka nggak tau sekarang lo tinggal dimana, sampai akhirnya gue ketemu sama Aldi dan ngasih tau ke gue kalo lo tinggal di apartemen ini,” cerocos gadis itu panjang.

SomewhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang