9

874 68 0
                                    

”Jadi aku harus apa?”

”Mencari jasadnya, dan hanya ada satu orang yang tahu,” tanpa diberitahupun (namakamu) tahu siapa orang yang di maksud.

”Bagaimana caranya?”

”Ada dua cara; pertama, ikuti terus setiap gerak-gerik pembunuh itu atau kedua, menanyakan langsung dengannya,” jawab Rachel santai.

”Nggak ada cara lain?” Kedua pilihan sama-sama sulit di lakukan.

”Ada saat situasi dimana kalian berada dalam satu titik yang sama, dan bisa memahami satu sama lain, jarak yang dekat di antara kalian akan membuahkan hasil yang tak terduga, dan bersamaan dengan itu rasa takut kehilangan akan muncul,” Rachel menjeda kalimatnya untuk menghela napas. ”Sudah hampir malam, lebih baik kamu pulang, ada sesuatu yang menunggumu di rumah.”

Gadis ini memang penuh kejutan di setiap kalimat yang dia lontarkan. (Namakamu) menunduk, memikirkan apa sesuatu yang di maksud oleh Rachel? Dia harap bukan sesuatu yang buruk.

*

Suara dentingan menyadarkan (namakamu) dari lamunannya, dengan lemas (namakamu) mengangkat wajahnya dan menatap pintu lift yang sudah terbuka, dua orang pria dan seorang gadis yang mengapitnya segera melangkah keluar, sedetik setelah tiga orang itu keluar, baru (namakamu) melenggangkan kakinya.

Derap langkah (namakamu) terkesan lamban dan terdengar seperti ketukan. Apa yang sedang gadis itu pikirkan? Kalau kalian menebak yang sedang (namakamu) pikirkan saat ini adalah 'apakah Steffie sudah makan' sungguh itu adalah lelucon yang harus memaksakan (namakamu) untuk tertawa. Langkah (namakamu) yang lamban, dan berangsur lama itu tanpa sadar sudah membawanya ke depan pintu apartemennya.

Ketika pintu terbuka, yang pertama kali (namakamu) pikirkan adalah 'apa yang sedang menunggunya di dalam?' Setelah masuk dan mengunci pintu, (namakamu) langsung berjalan ke arah kamar, tapi sebelum itu, dia mendapati Steffie dan pacarnya—Bastian, tengah duduk di ruang televisi dengan tangan Steffie yang melingkar di leher Bastian dan bibir mereka yang saling menempel. (Namakamu) mencebik, dan melanjutkan langkahnya. Dalam hati dia merepet tak jelas; sejak kapan apartemennya jadi tempat memadu kasih seperti ini?

Dengan kasar (namakamu) membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan cara dibanting. Biar saja Steffie dan Bastian terkejut malah (namakamu) berharap kalau secara tidak sengaja Bastian mengigit bibir Steffie. Tolol.

”Kenapa marah-marah?”

(Namakamu) terkesiap, dia yang baru saja ingin meraih handuk di balik pintu mendapati sebuah suara mengisi telinganya. (Namakamu) berbalik dan menatap sosok Iqbaal yang entah sejak kapan duduk di ujung tempat tidurnya.

Tidak bersuara. (Namakamu) hanya memasang tampang sekesal mungkin lalu menujuk tangannya kebelakang, maksudnya ke arah Steffie dan Bastian.

”Oh, kenapa, kamu kepengen juga?”

Sambil tetap menutup mulutnya, (namakamu) mengibas tangannya.

”Sayangnya kita nggak bisa bersentuhan,” wajah Iqbaal terlihat menyesal.

”Iqbaal!” Suara (namakamu) tertahan karena dia memang tidak ingin berteriak.

”Gimana kalau aku pakai tubuh atasan kamu untuk ngelakuin itu?”

(Namakamu) langsung mengangkat tinju, tapi sepertinya itu saja tidak akan cukup untuk menakut-nakuti Iqbaal. Ingat, dia tidak bisa menyentuhnya.

(Namakamu) yang sudah menyematkan handuk di bahunya berniat mengabaikan Iqbaal dengan cara masuk ke kamar mandi, tapi tiba-tiba saja pria itu beranjak dari posisi duduknya dan berjalan beriringan dengan (namakamu).

SomewhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang