7

876 61 0
                                    


”Aku Karel, dan kamu?”

”(Namakamu),”

Ketika (namakamu) masuk ke dalam mobil Karel, hal yang pertama kali (namakamu) pikirkan adalah kalau dia sedang duduk di sebelah seorang pembunuh. (Namakamu) bergidik, di saat seperti ini dia mengharapkan kalau pria di sebelahnya ini masih memiliki sedikitnya sifat manusiawi.

”Kayaknya aku pernah liat kamu deh,” tanya Karel saat mobil berhenti di traffic light.

”Oh ya?” Saatnya berakting pikun, pikir (namakamu), seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

”Iya, wajah kamu kayak nggak asing,” Karel menoleh ke arah (namakamu), dan meneliti wajah (namakamu) lama.

”Dimana? Mungkin kalau kamu rinciin tempatnya aku bakalan inget,”

”Aku juga lupa,”

LO SODARANYA IQBAAL KAN? NGGAK HERAN! Geram (namakamu) dalam hati.

”Kamu kenapa?” Karel bingung melihat perubahan ekspresi (namakamu), dan secepatnya (namakamu) menggeleng, traffic light menyala hijau, Karel langsung menginjak pedal gas dan mobil berlalu.

*

(Namakamu) berjalan menelusuri lobi kantor dengan mata berat dan kepala yang sangat tidak bisa di ajak berkompromi. Sebisa mungkin (namakamu) membalas sapaan ”selamat pagi” yang di lontarkan oleh karyawan, yang berpas-pasan dengannya.

Tadi malam jelas dia menghambiskan waktunya dengan sangat tidak berguna; pergi ke club malam dan bertingkah seperti gadis murahan. Tanpa (namakamu) ketahui apa imbalan yang akan dia dapatkan setelah bertingkah seperti itu. Meskipun (namakamu) tidak terlalu memfokuskan penglihatannya pada sekitar, tapi sesekali dia menangkap tatapan aneh karyawan yang menusuk ke arahnya. (Namakamu) tidak perduli, yang dia inginkan saat ini hanyalah berbaring di tempat tidur sambil memejamkan mata. Hal itu sepertinya benar-benar (namakamu) realisasikan di kantor. Setelah memastikan kalau bokongnya sudah terjatuh di kursi kerja, dengan sekali gerakan (namakamu) menjatuhkan kepalanya di meja di hadapannya, menggunakan tangan sebagai alas tidak terlalu buruk.

”Permisi,”

Demi tuhan, siapa saja tolong tendang pemilik suara itu.

Dengan sangat berat hati (namakamu) mengangkat wajahnya dan menatap pria di hadapannya dengan mata blur. Sungguh, (namakamu) benar-benar ngantuk. Belum lagi luka di lututnya yang tergores aspal semalam dan kaki kanannya yang masih terasa ingin patah karena tertabrak dengan sangaja.

”Ya?”

”Berkas yang kemarin udah selesai?”

Mata (namakamu) terpejam dan terbuka dengan sangat cepat, dia berusaha menjernihkan penglihatannya.

Jari-jari tangan (namakamu) segera merayap ketumpukan map yang ada di mejanya, menatap sekali lagi wajah pria di hadapannya untuk mengingat warna map, yang tempo hari pria itu berikan.

”Ini,” setelah mengingat dan menemukan map itu, (namakamu) menyerahkan map berwarna hijau kepada pria itu.

”Tolong antarkan ke ruangan Pak Al,” katanya, ”saya ada urusan yang belum saya selesaikan.” Dan pria itu segera menghambur tanpa memperdulikan wajah ngantuk (namakamu) yang berubah masam.

(Namakamu) menghela napas panjang lalu menyenderkan punggungnya lebih dalam ke kursi kerja, membiarkan sel-sel dalam tubuhnya tenang sejenak.

*

Suara dentingan lift langsung menyadarkan (namakamu) dari keadaan setengah sadarnya. Orang-orang yang berada di ruangan 2m x 2m itu langsung membludak keluar, begitu pun juga dengan (namakamu).(namakamu) melangkah keluar dengan langkah yang sangat mengkhawatirkan, jujur saja, (namakamu) sangat tidak suka dengan keadaanya yang seperti ini; mata berat dan kepala pusing.

SomewhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang