Pamit

28 1 0
                                    

"Aku memintamu tetap di bumi kan? bukan dikebumikan."
Neira Azlan

***

"Neira, janji sama Papa kamu bakal jadi anak yang baik ya, Nak?" seorang lelaki berwajah pucat mengelus puncak kepala anak perempuannya lembut.

"Neira bakal jadi anak baik kalau Papa juga janji bakal sembuh ya?" tangan mungilnya mengelus tangan yang dipunggungnya tertancap jarum dan selang infus.

Lelaki itu menatap anaknya sedih. "Iya Papa janji bakal sembuh" gumamnya.
"Harus dong, katanya Papa mau lihat hujan lagi bareng Neira" jawab gadis itu.

"Papa sayang kamu, Ra. selalu.. " lirihnya. "Lebih lama dari selamanya" potong gadis bermata indah itu sambil tersenyum.

Tapi tiba-tiba senyumnya menghilang sesaat tangan Papanya melepas genggamannya. Mata lelaki itu berair bersamaan dengan tangannya yang refleks menekan dada sebelah kirinya dengan kuat.

"Nenek...Papa kenapa nek!" gadis kecil itu berteriak histeris. Seorang wanita tua masuk dengan panik dan berteriak memanggil dokter.

Tiba-tiba suara yang tak asing pun terdengar, suara yang pernah ia dengar di sinetron favorit nenek. Suara mesin yang berbunyi dan di layarnya tergambar jelas garis lurus.

"Papa bohong." gumamnya.

Tiba-tiba semua gelap.

.
.
.

"Neira!"

Gadis itu membuka matanya dan keringat bercucuran dari dahinya.

"Hoshh..hoshh" napasnya tidak beraturan padahal ia tidak berlari. Matanya mengarah ke sosok Pak Simon yang memegang penggaris panjang dan melotot marah padanya. Gadis ini malah memasang wajah tak berdosa.

"Kamu pikir saya lagi ngedongeng?" tanya lelaki paruh baya berkumis tebal itu, Dia adalah guru Matematika di sekolah Lentera dan termasuk jajaran guru killer tanpa ampun.

"Maaf pak, saya cuma merem sedikit" jawabnya singkat.
"Bagus. Kalau gitu merem yang banyak di luar kelas saya. Sekarang!" bentaknya yang membuat seisi ruangan hening.

Bukannya membela lagi gadis itu malah berlenggang pergi tapi langkahnya terhenti saat Pak Simon menambahkan hukumannya.
"Neira, kamu tahu kita setiap hari senin ngapain aja kan?"

"Sekolah Pak." celetuk Neira yang membuat seisi ruangan tertawa. Pak Simon memasang wajah dingin dan seisi kelas langsung hening kembali. Ia mengusap kumisnya dan menatap Neira.
"Sebagai pelajar yang baik, kita harus menghormati negara kita bukan?" tanya Pak Simon.
"Jangan lagi" pikir Neira.
"Kamu tau hadiah saya buat kamu apa kan, Neira?" pungkas Pak Simon penuh penekanan.

.
.
.

Matahari sudah mencapai puncaknya dan gadis itu tengah berdiri di lapangan sambil memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Napasnya terdengar beraturan
"Yah namanya juga hidup." gumamnya pasrah.

Dan begitulah hari-hari seorang Neira Azlan.
Mungkin ia terlihat seperti remaja kebanyakan atau lebih tepatnya tidak. Dia istimewa.
Berbagai predikat pun telah ia raih. Cewek nggak punya gairah hidup, putri tidur dan atlet lompat indah pun tersemat padanya. Tapi kemudian hidupnya berubah bukan karena negara api menyerang.
Namun karena ia bertemu dengan salah satu manusia primer yang mengubah warna di kanvas kelabunya, Biru.

***

assalamualaikum, yeorobun😁
akhirnya aku kembali!😭
setelah sekian lama cuma iseng ngetik di notes, aku memutuskan 'pulang' ke wattpad^^

terimakasih untuk inspirasiku, kang daniel. Aku mencintaimu, selalu lebih lama dari selamanya. #wannablesgariskeras☝

selamat membaca dan berkenalan dengan dua anakku, Biru dan Neira. Tolong cintai mereka ya!😊

Dengan penuh cinta,
Irenanaz

RuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang