t h e ㅡ m a p

261 82 69
                                    

•d e a t h m a p•

Hwang Hyunjin memilih untuk merahasiakan hal itu pada ketiga temannya. Dialah yang membawa mereka ke Wilted, Hyunjin tidak ingin temannya khawatir.

"Mungkin jaringannya jelek," gumam Hyunjin meyakinkan dirinya sendiri.


Namun, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan hal tersebut. Hyunjin meraih ponselnya yang sedang memutar karya lawas Jason Mraz, segera ia mengetikkan alamat penginapan Welted.

Kali ini Hyunjin memastikan bahwa tidak ada typo pada penulisannya.

Welted Village, 456 Orchid StreetㅡWelted, District 17th.



Location is not found.



Hyunjin terbelalak. "Ini pasti salah, jaringannya pasti jelek." Tak percaya dengan hasil penelusuran, Hyunjin kembali mencoba.



Location is not found.

"Akh, sial!" Hyunjin melemparkan ponselnya asal. Cukup beruntung, ponsel itu tidak terbelah menjadi dua. Hyunjin bisa diusir bila nyonya Hwang tahu ia melakukannya sengaja.





brak!

prang!



Hyunjin menghentikkan pergerakan untuk mengambil ponselnya. Ia tidak salah dengar? Siapa yang menjatuhkan benda pukul satu pagi? Dan suara langkah kaki itu sungguh gaduh.

Cowok itu segera mengantongi ponselnya dan membuka pintu. Mata Hyunjin menelusuri ruang utama yang langsung tersambung dengan ruang tamu.

Tidak ada apa pun disana. Hyunjin mencoba melangkah menuju dapur gelap yang menjadi ruang paling belakang. Namun, tidak ada siapa pun kecuali dirinya yang celingukan pada pukul satu dini hari.






Hyunjin menghela napas dan memijit pelipisnya pelan. "Pikiranku hanya lelah. Aku perlu tidur sekarang."

Hyunjin kembali menuju kamarnya, mengistirahatkan pikiran dan fisiknya yang lelah. Belum sempat tangannya meraih kenop pintu, sebuah ketukan menginterupsi.



Tok tok!

Hyunjin menoleh pelan ke arah pintu utama. Samar, ia melihat bayangan seseorang di balik gorden.

"Aku pasti mengkhayal. Orang sinting mana yang mengetuk pintu pukul satu pagi."

Hwang Hyunjin memilih tidur dan tidak menghiraukan ketukan pintu itu.









d e a t h m a p









Pagi menyambut. Seperti sebelumnya, Nancy-lah yang menyiapkan makan. Somi dan Jeno sedang ada di halaman, sekedar melakukan pemanasan dan menghirup udara segar.

"Kemana Hwang?" tanya Somi pada Jeno yang tengah melakukan pull up.

"Belum bangun sepertinya," jawab Jeno. "Hei, mau kubantu mengecilkan pahamu? Sepertinya kamu mendapat dua kilo bulan ini." Jeno terkekeh saat berhasil membuat Somi kesal.

Somi menendang pantat Jeno, kesal karena tak terima dengan ejekannya, kesal juga karena sepertinya cowok itu benar. "Jeno, awas kamu!"







Pertengkaran pagi mereka terhenti saat Nancy membawa nampan sarapan diikuti oleh Hyunjin di belakangnya.

Nancy tersenyum geli. "Ini masih pagi dan Somi sudah memulai keributan."


"Akan aku koreksi kalimatmu, Nancy." Somi melipat tangannya di depan dada dan menatap sinis pada Lee Jeno. "Ini masih pagi dan Jeno sudah memulai keributan."

Sementara Hyunjin tak tertarik dengan keributan mereka, ia langsung mengambil satu roti panggang bikinan Nancy. "Aku koreksi lagi, Somi. Ini masih pagi dan aku sudah sangat lapar."

Empat remaja itu segera mengambil posisi duduk melingkar. Menikmati roti panggang hangat dengan olesan nutella dan juga segelas susu.



"Bagaimana tidur kalian?" tanya Nancy membuka obrolan ringan.

Hyunjin merasakan tubuhnya menegang saat mendengar pertanyaan Nancy. Tanpa dicegah, ia mengingat lagi suara barang yang berjatuhan dan ketukan pintu semalam.

"Kasurnya cukup nyaman. Setidaknya aku tidak terbangun dengan otot pegal," jawab Somi seadanya.

"Suhunya turun semalam, jadi aku menaikkan suhunya," Jeno ikut menimpali. "Bagaimana denganmu, Hwang?"

Hyunjin tersentak. "H-huh? Ya, aku bisa mengistirahatkan tubuhku tadi malam."







"Halo, selamat pagi!"

Somi melambaikan tangannya dan tersenyum ramah ke arah rumah nomor 17. Sontak, Hyunjin, Jeno, dan Nancy mengikuti arah pandang Somi.

Nancy dan Jeno ikut tersenyum dan melambaikan tangan mereka. Anehnya, Hyunjin tidak melihat apa-apa selain pemandangan sepi di rumah itu.


"Apa yang kalian lakukan?"

Jeno menyikut Hyunjin. "Menyapa pengunjung lain, tentu saja. Kamu masih tidur ya?"

Hyunjin menatap aneh pada ketiga temannya. Sebenarnya apa yang mereka lihat? Mengapa hanya dia yang tidak melihat apa-apa?





"Omong-omong, aku punya sesuatu untuk kalian," kata Jeno setelah menelan potongan terakhir rotinya.

Kini semuanya menaruh atensi pada cowok dengan eyesmile itu. Jeno mengeluarkan sesuatu dari kantong celan trainingnya.

Hyunjin menatap benda itu bingung. "Peta?"

Somi menaikkan alisnya dan tersenyum miring. "Kamu mau main treasure hunt? Di hutan itu?"

"Darimana kamu dapat peta itu, Jen?" tanya Nancy penasaran.


"Penghuni lain memberikannya untuk kita."

"Hah? Kapan?"

"Malam tadi." Hyunjin kembali tersentak. Kini debaran jantungnya juga mempercepat.


Jeno memperhatikan peta itu. "Aku mendengar suara ketukan pintu semalam. Saat kubuka, ternyata penghuni rumah lain, entah nomer berapa. Dia memberiku peta ini. Saat aku tanya, dia hanya bilang untuk mengikuti permainan."


Somi menatap Jeno tak mengerti. "Permainan? Permainan apa? Monopoli?"

Nancy yang sedari tadi diam, mengamati tulisan pudar di sudut kertas usang itu. Tangannya bergerak menyentuh tulisan tersebut. "Tu sei la prossima anima."


Hyunjin memijat pangkal hidungnya, baru menyadari keberadaan tulisan itu. "Aku tidak ikut kelas Sastra Italia. Som, apa artinya?" tanyanya pada Somi yang setahunya mengikuti banyak kelas sastra.










"Kamu adalah jiwa berikutnya."

DEATH MAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang