t h e ㅡ s o r r o w

156 43 9
                                    

•d e a t h m a p•

Somi memimpin arah dengan sedikit terseok, mungkin ia telah menguras banyak tenaganya saat histeris tadi.

"Somi, darimana kamu bisa tahu?" Hwang Hyunjin berjalan dekat di belakang Jeon Somi, takut-takut bila gadis itu limbung atau jatuh tersungkur tak waspada.




"Hwang, aku dimasuki roh, kerasukan." Somi menjawab tanpa memelankan langkahnya. Ia harus segera menemukan Nancy.

Jeno yang ada paling belakang, untuk berjaga, menyahut sinis. "Aku kira kamu demam, menakutkan saja."





Hyunjin mendesis tajam, memperingatkan Jeno bahwa sekarang bukanlah waktunya, yang membuat ia memilih bungkam.

"Rasanya sangat sakit, seperti kamu berada di ambang hidup dan mati. Dia seperti menarik rohku keluar, kemudian mengambil alih raga."





Somi bercerita tentang hal yang dilihatnya, ia seperti mendapat pengetahuan yang membuat semua yang runyam, menjadi terang.

Ia melihat kelebatan kejadian sejak mereka datang, termasuk hal yang dilakukan oleh ketiga temannya yang ia tak tahu.







Termasuk kemana Nancy pergi.

Ia tahu bahwa Nancy sekarang tidak baik-baik saja berada di sumur berdarah itu. Nancy sudah mendapatkan kutukannya, ia hanya tinggal menunggu kematian.

Sama halnya dengan Hyunjin, juga dirinya. Hanya Jeno yang masih terbebas, entah kapan para setan itu kembali untuk mencelakakannya.





"Apakah hanya aku yang mencium bau anyir?" tanya Jeno saat bukan lagi bau tanah basah yang ia cium, namun anyir darah yang menyeruak.

"Kamu tidak sendirian," Hyunjin menimpali.

Setelah itu, Somi dengan langkah tremornya berlari tergesa, mau tidak mau Hyunjin dan Jeno harus mengejar.

Somi mengacuhkan tubuhnya yang masih tremor, tapi insting menyuruhnya untuk berlari. Somi yakin Nancy ada di dekat sini.







Dan dugaannya itu, benar adanya.








Somi berpikir bahwa langit runtuh lebih baik untuknya, ketimbang melihat Nancy sekarang. Matanya sudah tak lagi mampu menahan, air matanya membandang.

Jika ada kata yang melebihi arti kacau, mungkin itu bisa mendeskripsikan Jeon Somi saat ini.


"Demi Tuhanㅡ" Hyunjin dan Jeno yang baru sampai pun tercekat, jantung mereka seperti dijebloskan pada jurang duka.





"NANCY!" Hyunjin berlari menuju gadis itu. Dia, Nancy McDonie, tengah tergantung di atas sumur dengan keadaan berlumur darah.

Di sekujur tubuhnya, terdapat luka yang menggores sampai dagingnya terkoyak, mulutnya robek sampai menyentuh telingaㅡsungguh biadab.

Hyunjin mendekat, ia setengah mati menahan diri untuk tetap berdiri meskipun kakinya lemas seperti seluruh ototnya telah dimatikan.





"Nancyㅡtolong jangan tinggalkan kami." Perlahan, tangan Hyunjin terulur menyelipkan rambut Nancy ke belakang telinga.

Hyunjin bisa melihat dengan jelas goresan itu juga mengoyak leher Nancy, ia tak bisa membayangkan bagaimana Nancy menahan sakit saat goresan itu mengoyak dagingnya.

Jiwa terkutuk.

Pola itu terukir di leher Nancy. Ah, jadi Nancy adalah jiwa pertama yang pergi.



Hyunjin menangis, terisak dalam sesak. Sementara Somi sudah meraung tak karu-karuan dengan Jeno yang juga menangis memeluknya.









"Siapa yang mengizinkanmu untuk pergi, hah?" Hyunjin menoleh ke belakang, Somi sedang menunjuk sengit pada jasad Nancy yang tergantung. "Kamu masih punya hutang, kamu bilang akan mengajakku ke dermaga waktu itu, tapi kamu ingkar!!"


Jeno menangis dan membawa Somi bersandar di dadanya. "Somi, tenanglah, Nancy tak suka melihatmu cengeng." Gadis itu mulai histeris kembali, Hyunjin yang melihatnya kembali hancur.






"Nancy sudah pulang, bukankah kita harusnya senang?" kata Jeno berusaha tersenyum. "Dia tak lagi perlu takut, ia tak akan lagi celaka, dia sudah terbebas. Dia ada dalam lindungan Tuhan."



"Mari kita antar dia, ke peristirahatan, dengan senyum damai terkembang."

DEATH MAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang