Telat! (Prolog)

47 7 7
                                    

Pagi yang cerah di Jakarta...

Ngomong-ngomong, hari ini hari Senin. Dimana semua mahkluk yang bernama manusia kembali beraktivitas. Ada yang kerja lah, sekolah, masak, ngamen, ada juga yang masih terkapar di kasur.
Itulah sebabnya orang-orang membenci hari Senin.

Gue sekarang lagi berada di dalam angkot, sedang otw menuju sekolah tercinta. Oke coret di bagian tercintanya.
Nama gue Hamdan Ramadhan, tujuh belas tahun. Kenapa nama gue ada Ramadhannya? Kata nyokap gue sih, gue lahir tepat pada tanggal satu bulan ramadhan. Tapi... Kata bokap gue, gue lahirnya tangga 2 ramadan. Percayalah saat gue tanya itu, terjadi perang mulut antara nyokap sama bokap gue.
Ya, tak apa lah, yang penting gue lahirnya di bulan ramadhan,dan ada hubungannya sama nama gue.
Gue ini orangnya netral dan fleksibel,gue bisa akrab sama siapa saja. Sama anak kecil, orang tua, temen sekolah, murid sekolah lain, para guru,polisi, tukang gorengan,maling, copet gue kenal dan akrab sama semua orang.

Oh iya, gue tidak sendiri. Gue punya dua sahabat yang selalu bersama, bertiga setiap saat.
Yang duduk di samping kanan gue ini, namanya Dion putra Nugraha, si idola sekolah.
Orangnya kalem gak banyak bicara. Bicara yang penting-penting saja gitu. Paling ngejawab salam, pas berdiskusi atau presentasi doank kalau ngomong panjang lebar. Hah? Tertawa? Jangankan tertawa! Tersenyum saja jarang! Sekalinya senyum itu bukan terlihat seperti senyuman tulus atau manis, malah lebih ke seringai mengancam.
Tadi gue bilang dia idola sekolah? Yap itu dikarenakan dia pinter dan...  Katanya ya, kata para cewek sekolah, dia itu tampan layaknya pangeran berkuda putih. Tapi kalau secara realita, gue lebih ganteng dari dia, hanya saja kurang famous.

Oke next!
Di samping kanan Dion itu namanya Gilang, nama lengkapnya Gilang. Udah.
Sifatnya gak jauh beda sama gue sih. Hanya saja gitu lah, suka ngaggep remeh apapun atau siapapun dan menganggap dirinya jauh lebih baik dan lebih jago dari orang atau apapun yang ia remehkan.
Si Gilang ini dari kelas Bahasa, gue IPS dan Dion itu IPA. Tak khayal, dia paling jago soal sastra dan bahasa. Dia punya blog atau web sendiri yang berisi puisi-puisi, prosa dan karya sastra lainnya yang dibuatnya sendiri. Mantap lah.

E-eh buset! Sekolah gue kelewatan!!!

"BANG! KIRI!!!!!!!"

Angkot pun ngerem secara mendadak. Alhasil para penumpang yang notabenenya cuma kami bertiga, terdorong ke depan. Buru-buru lah kami keluar dari angkot dan langsung berlari ke sekolah.

"WOI! BAYAR DULU!!!"

Bodo amat, kau bertiga tidak mengindahkan teriakan si supir angkot.
Karena kami tahu, bentar lagi kita akan em.. maksudnya kami sudah telat di hari Senin ini!!!
Sesampainya di depan gerbang sekolah. Pagar gerbang sudah ditutup. Sang satpam menatap kami dengan garang. Mampus! Kami!.

"Elu sih! Kita jadi telat kan!!"
Lah si Gilang kok malah nyalahin gue?!.

"Kenapa lu malah nyalahin gue?! Si Dion nih, diem Mulu padahal dia liatin jalan!"

"Dion! Lu itu gimana sih?! Suara lu mahal ya?! Teman macam apa kau hah?"

"Hah..."
See? Jawabannya hanya sebuah buangan oksigen, nyebelin emang.
Ya.. mau tak mau kami harus pasrah dengan keadaan.
Tak lama kemudian, ada seseorang... Ah itu tukang angkot tadi, ternyata masih ngejar kita rupanya.

"Bayar dulu! Main kabur aja lu pada!". Amuknya.
Gue melihat si Dion bayari ongkosnya, gue dan Gilang saling menatap senang.

"Maaf tadi kami terburu-buru" ucap Dion dengan dinginnya.

"Ya tak apa, lain kali janga lagi!".

Si kang angkot pun meninggalkan kami. Gue dan Gilang nyamperin Dion dengan bahagia. Gimana gak bahagia coba? Dibayarin bro!. Hemat empat ribu gue.

"Makasih ya sob! Lu emang sahabat gue"

"Engkau bagaikan planet Venus yah berkelip di kegelapan malam~ " Gilang mulai berpuisi.

"Aku tidak berniat membayar ongkos kalian, aku hanya menalangi saja. Jadi kalian berdua harus membayar masing-masing empat ribu padaku".

Asem emang, gue terpaksa memberikan jangan duaribuan dua ke si Dion. Pantes aja gue ngerasa ada kejanggalan padanya.

"Kirain lu bayarin ongkos kau juga! Dasar Incubus kejam yang meneror warga!".

"Udahlah Lang, ku kasih aja, cuma empat ribu doank"

Gilang kasih duitnya dengan muka kusut. Itu membuat gue tertawa.

"Liat aja nanti! Gue bakal jadi insinyur dan beli semua angkot di Jakarta! Eh pak satpam bukain donk gerbangnya!"

"Baru akan dibuka jika sudah dapat ijin dari guru piket hahaha"

"Si bapak malah ketawa".

"Udahlah kita tunggu saja!".
Ucap gue seraya mendudukan diri di bangku kayu, disusul oleh Dion dan Gilang.
Gak ada yang bicara. Hening... Yang terdengar hanya suara samar-samar dari dari dalam sekolah yang sepertinya sedang melaksanakan upacara bendera.
Sampai akhirnya gue sendiri yang harus membuka topik obrolan.

"Btw jabatan kalian di kelas kalian apa?"
Tanya gue, iya-iya itu pertanyaan yang monoton, tapi lebih baik ini daripada menggosip kan?.

"Pas kelas 10 jadi siswa biasa dan kelas 11 sekarang jadi seksi kesenian"

"Keren-keren, naik pangkat. Gue mah apa, stay jadi siswa biasa kang tidur".

"Asem emang, eh btw, lu gimana Dion?"
Si Dion ngeluruk datar  ke gue sama Gilang, helaan nafas keluar dari mulutnya.
Kasihan ya, pasti cuma jadi murid biasa.

"Ketua kelas, sekaligus seksi kesehatan"

Jadi ketua kelas satu tahun, keren-keren apalagi sekaligus jadi seksi kesehatan, Dion banget dah. Gue dan Gilang tersenyum sambil tepuk tangan kecil, anggap ini sebuah apresiasi dari kami untuknya.

"Dua tahun berturut-turut"

Seketika senyuman kami berdua pudar, ketika kalimat itu meluncur dari mulut sahabat kami yang very very menyebalkan.
Ya sudahlah, kami pun mengakhiri perbincangan.
Tadinya gue berniat mau ngajakin Gilang sama Dion untuk pergi ke warung buat beli minuman teh. Tapi gue sadar, pak satpam bernama Abdul ini tak mungkin melepaskan pandangannya dari kami yang tak jarang bolos ini.

"Hei kalian!".

Kami bertiga menoleh, gue melihat dari balik gerbang ada seorang ibu-ibu yang tidak asing bagi gue. Ya, itu Bu Wika guru BK di sekolah ini.

"Kalian bertiga sekarang ikut ibu".
Ucapnya tegas. Mau tak mau harus kami turuti.

Gue, Gilang sama Dion mengikuti Bu Wika dari belakang. Ga tau mau dibawa kemana kami bertiga ini.

Dan pertanyaan di benak ku tadi terjawab saat Bu Wika membawa kami ke lapangan, dimana di sana masih banyak murid yang berbaris seusai upacara.
Sekarang gua ngerti, ini sesi pengumuman-pengumuman.
Gue beserta 2 sahabat gue di suruh berdiri di depan para murid yang tega berbaris. Gue liat mereka lagi berbisik-bisik satu sama lain.

"DION GANTENG KYAAAHH!!!"
"KYAAAHHH DION!!!".
"DION SASAGEYO SARANGHAE!!!!!".

Asem, fans alaynya si Dion , cewek semua yang teriak dan bisa-bisanya Dion masang tampang kalem seolah-olah tak peduli diteriaki atau diberdirikan kaya gini.
Mata gue melirik ke arah Gilang, eh buset! Sempet-sempetnya ia nulis puisi di buku sakunya sambil berdiri kayak gini!.
Gue membuang nafas, pasrah dengan apa yang akan didapatkan nanti.

"Kita lihat, mereka bertiga udah telat, gak bawa tas atau alat sekolah lagi! Satu dari mereka mengeluarkan seragamnya tidak rapi!, Ma belajar atau mau ke warnet nak?!".

Eh, tunggu... Apa?

"TAS!!??"
Kami bertiga baru sadar dan sontak panik, ah maksudnya gue sama Gilang diam, si Dion santai-santai saja. Segeralah kami berdua lari dari sana.

"Hei!! Kalian mau ke mana!!!"

Maaf Bu, kau punya misi mendadak , yaitu tas kami

"KETINGGALAN DI ANGKOT TADI!!!".

...........................................

To Be Continued

Jomblo Tiga LapisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang